Jogja
Minggu, 19 Maret 2017 - 13:20 WIB

PERTANIAN BANTUL : Lahan Abadi Bakal Terganjal di Perkotaan

Redaksi Solopos.com  /  Nina Atmasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panen padi di Bantul. (Uli Febriarni/JIBI/Harian Jogja)

Pertanian Bantul menghadapi masalah alih fungsi lahan

 

Advertisement

Harianjogja.com, BANTUL – Kebijakan penetapan lahan pertanian berkelanjutan di daerah aglomerasi perkotaan bakal terganjal. Kondisi di wilayah sub urban itu sangat sulit membendung alih fungsi lahan.

Seperti diberitakan sebelumnya, Pemkab Bantul menetapkan area seluas 13.000 hektare sebagai lahan abadi pertanian. Sebagai konsekuensinya, pemerintah akan membuat perjanjian di atas kertas dengan petani pemilik lahan 13.000 hektare tersebut untuk tidak mengalihfungsikan lahannya minimal sepuluh tahun.

Advertisement

Seperti diberitakan sebelumnya, Pemkab Bantul menetapkan area seluas 13.000 hektare sebagai lahan abadi pertanian. Sebagai konsekuensinya, pemerintah akan membuat perjanjian di atas kertas dengan petani pemilik lahan 13.000 hektare tersebut untuk tidak mengalihfungsikan lahannya minimal sepuluh tahun.

Namun kebijakan itu dianggap tidak realistis bagi wilayah sub urban, diantaranya Kecamatan Banguntapan. Sekeretaris Desa Banguntapan, Kecamatan, Banguntapan, Bantul Putut Damarjati mengatakan, sulit menerapkan perjanjian larangan alih fungsi lahan pertanian bagi petani yang kini masih eksis di wilayah sub urban seperti Banguntapan.

Petani di wilayah perbatasan tersebut kata dia saat ini menghadapi berbagai tantangan dalam mempertahankan lahan hijaunya. Pertama masalah irigasi teknis yang tidak memadai.

Advertisement

Sementara petani tetap harus membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk lahan yang jumlahnya tak seberapa karena kesulitan air tersebut. “Padahal PBB di sini mahal lo,” tuturnya lagi.

Petani lanjutnya juga harus menghadapi gempuran investasi perumahan yang membeli tanah dengan iming-iming harga tinggi.

Dalam kondisi di atas, sulit bagi petani di wilayahnya bakal setuju dengan perjanjian larangan alih fungsi lahan selama sepuluh tahun. “Sulit bagi petani kalau kebijakan seperti itu. Sekarang ini, Gapoktan [Gabungan Kelompok Tani] yang ada di sini tinggal di Dusun Plumbon dan Sorowajan. Petani yang tersisa tinggal yang tua-tua,” imbuhnya.

Advertisement

Padahal  kata Putut, lahan di Banguntapan masih dilalui jalur hijau pertanian sesuai Peraturan Daerah (Perda) mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang masih berlaku sekarang. Ia mencatat, total jalur hijau di desanya tidak sampai lima hektare.

Anggota Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) Bantul Lasiyo Syaifudin membenarkan, sulitnya penerapan kebijakan lahan abadi pertanian di wilayah yang berbatasan dengan Kota Jogja seperti Banguntapan, Sewon dan Kasihan.

Terkecuali bagi daerah tengah hingga ke selatan, kebijakan tersebut menurutnya realistis. Ia mencontohkan di desanya di Sidomulyo, Bambanglipuro, kebijakan lahan abadi pertanian justru mendapat respons positif.

Advertisement

“Kalau di sini sangat tidak masalah. Di sini kami tidak punya masalah dengan irigasi, air tersedia. Pembangunan perumahan juga belum masuk ke sini. Tapi akan menjadi masalah kalau diterapkan di wilayah seperti Sewon dan Banguntapan,” ungkap Lasiyo Syaifudin.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif