SOLOPOS.COM - Proses pengemasan salak pondoh yang akan diekspor di gedung sortasi dan pengepakan salak organik, Dusun Trumpon, Merdikorejo, Tempel, Sleman. (JIBI/Harian Jogja/Rima Sekarani I.N.)

Pertanian Sleman berupa salak masih perlu terus didorong untuk maju

Harianjogja.com, SLEMAN — Ekspor salak dinilai menjadi solusi dalam pemasaran produk ketika harga di dalam negeri merugikan. Namun, sejauh ini petani salak masih terkendala keterbatasan produksi dan syarat produk internasional yang sulit dipenuhi.

Promosi Era Emas SEA Games 1991 dan Cerita Fachri Kabur dari Timnas

Edi Sri Hartanto, Kepala Bidang Holtikultura dan Perkebunan Dinas Pertanian Pangan Perikanan Sleman mengatakan sebenarnya petani salak selama ini telah difasilitasi untuk pengemasan dan pemasaran dengan tujuan ekspor.

“Untuk kebutuhan ekspor, salak bisa dijual dengan harga Rp6.500 per kilogram,”ujarnya, Kamis (13/7/2017)

Namun, kualitas yang dibutuhkan tentunya berbeda dari pasar lokal dari segi tingkat kematangan maupun proses penanaman. Selain itu, lahan salak yang hasilnya akan diekspor juga harus teregster sebagai standar internasional. Namun selama ini baru 140 ha lahan salak di Sleman yang teregister dari total 2.500 ha.

Keterbatasan juga disebabkan belum seimbangnya produk olahan salak dengan jumlah panenan buah tersebut. Ia menyebutkan pernah ada permintaan ekspor keripik salak ke Amerika Serikat sebanyak 1 ton per bulan. Hanya saja, permintaan itu urung dipenuhi karena kesulitan memenuhi kuota tersebut.

Sejauh ini, proses ekspor salak dikatakan terus berjalan dan mulai menjajaki pasar negara yang baru. Edi menerangkan jika ekspor berkala setiap pekan sudah dilakukan ke Cina sebanyak 1,5 ton dan Kamboja sebanyak 5,5 ton dengan sistem kemitraan. Pemerintah saat ini juga mulai merintis peluang ekspor ke Selandia Baru dan Singapura untuk ekspor salak segar maupun produk olahannya.

Sunarjo, salah satu petani salak Desa Wonokerto, Turi membantah jika permintaan ekspor bisa menggantikan pasar lokal.
“Permintaan ekspor tidak banyak, jadi meskipun harganya lebih baik tetap tidak untung jadinya,”tandasnya.

Dijelaskan jika selama ini ia hanya bisa menyalurkan 20 kilogram hasil panennya untuk permintaan ekspor salak. Padahal, ada ratusan kilo buah salak yang didapatkan setiap kali panen.

Mengenai harga untuk kebutuhan ekspor, ia mengakui nominalnya jauh lebih menguntungkan. Meski demikian, dengan permintaan yang tak seberapa ini, pemerintah tetap harus bisa memecahkan masalah rendahnya harga salak di dalam negeri. Sebagaimana diketahui, harga salak dinyatakan sempat mencapai Rp1.600 per kilogram sehingga membuat petani merugi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya