Jogja
Kamis, 6 Agustus 2015 - 03:20 WIB

PERTANIAN SLEMAN : Peminat Salak Berkurang, Harga Terjun Bebas

Redaksi Solopos.com  /  Mediani Dyah Natalia  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Proses pengemasan salak pondoh yang akan diekspor di gedung sortasi dan pengepakan salak organik, Dusun Trumpon, Merdikorejo, Tempel, Sleman. (JIBI/Harian Jogja/Rima Sekarani I.N.)

Pertanian Sleman utamanya salak dibutuhkan inovasi untuk menarik konsumen.

Harianjogja.com, SLEMAN -Jumlah peminat yang menurun, harga salak ikut turun. Dibutuhkan inovasi untuk mendongkrak.

Advertisement

Salah satu petani salak di Dusun Randusongo, Donokerto, Turi, Sleman, Suryatmadi merasakan mulai adanya penurunan minat konsumen setiap tahunnya. Ia menceritakan, pernah mengalami masa kejayaan sebagai petani salak kurun waktu tahun 1990-an. Ketika itu harga beras baru berkisar pada angka Rp1000 perkilogramnya, tapi buah salak minimal dihargai Rp6000 dari petani. Tetapi saat ini justru sebaliknya, kurun waktu tiga tahun silam hingga tahun 2015 ini misalnya, kata dia, harga salak berkisar antara Rp2000 hingga Rp5000 perkilogram, tetapi harga beras tembus di atas Rp6.000.

“Harga itu anjlok dan anjlok terus karena menurunnya jumlah peminat salak. Harga beras itu bisa jadi perbandingan,” ungkap pemilik lima hektar lahan salak ini, Rabu (5/8/2015).

Musim saat ini, harga salak dinilai lumayan yaitu saat Lebaran lalu. Jika petani menjual langsung ke konsumen harga bisa mencapai Rp7000 hingga Rp10.000, tetapi menjual ke pengepul hanya Rp5000. Harga tersebut, sudah sangat istimewa tingginya. “Setelah Lebaran ya turun lagi jadi Rp3000, bahkan Rp2000 kalau dari petani, walaupun saat ini salak sedang tidak ada [bukan musim panen],” ujarnya.

Advertisement

Pria yang bertani salak sejak 25 tahun silam ini mengatakan, berkurangnya minat salak berdampak pada turunnya pendapatan petani. Sebelumnya, dalam setahun ia mampu meraup untung minimal Rp50 Juta untuk lima hektar lahan yang dipanen. Tetapi selama dua hingga tiga tahun terakhir, pendapatan menurun antara 30% hingga 50%. Berkurangnya peminat salak, kata dia, dipengaruhi oleh faktor banyaknya lahan salak di Sleman.

Sementara itu petani salak lainnya, Sri Sujarwati, 49, warga Kembangarum, Donokerto, Turi berinovasi dengan mengolah salak menjadi berbagai macam makanan. Menurutnya, selain agar bisa memberikan manfaat bagi orang lain terutama yang mengonsumsi, juga diharapkan dapat menumbuhkan perekonomian masyarakat. Sejak 2008 ia mulai mengolah salak bersama kelompok wanita tani Sri Rejeki di desanya meski banyak kendala.

“Mulai 2008 jatuh bangun, beli mesin di 2010. Saat punya mesin baru hasilnya mulai bagus, lalu ada erupsi merapi, baru kemudian mulai produksi lagi 2011,” ungkapnya.

Advertisement

Hingga 2015 ini Sujarwati melayani berbagai transaksi olahan salak kepada konsumen bertempat tinggal hampir di seluruh penjuru nusantara. Dalam sehari menghabiskan salak antara satu hingga dua kuintal untuk diolah. Bahan itu didapatkan melalui kelompok tani, jika kehabisan stok diambilkan dari luar desa melalui koordinasi dengan gabungan kelompok tani.

“Hasil olahan kami ada kripik salak bisa diawetkan selama setahun dalam aluminium foil. Kemudian ada dodol, wajik, karamel, geplak, kurma, manisan asinan, rujak, sari, sirup, kopi, semua berbahan salak,” terangnya.

Advertisement
Kata Kunci : Pertanian Sleman Ukm Diy
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif