Kembang api di TLWC dinilai rusak program pengendalian aktivitas KRB.
Harianjogja.com, JOGJA–Pesta kembang api dengan 300 tembakan di objek wisata ilegal The Lost World Castle, Petung, Cangkringan, Sleman dinilai merusak upaya pengendalian aktivitas manusia di Kawan Rawan Bencana (KRB) tersebut.
Promosi Kanker Bukan (Selalu) Lonceng Kematian
Pengedalian aktivitas ini sendiri berkaitan dengan upaya mitigasi risiko jangka panjang. Kepala Seksi Gunung Merapi Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Jogja, Agus Budi Santoso mengatakan hal ini juga rawan menjadin contoh buruk yang kemudian ditiru masyarakat. “Apalagi arealnya di sana, yang aktivitasnya sebenarnya perlu dikendalikan,” katanya Selasa (2/1/2018).
Ia mengatakan pengendalian aktivitas di kawasan tersebut sebenarnya juga berkaitan dengan bangunan dan manusianya. Dengan demikian, ketika ada bahaya maka resiko yang harus dijalani dalam batas minimal.
Menurutnya, harus ditinjau lebih jauh apakah areal itu masuk dalam wilayah konservasi atau tidak. Jikapun tidak, secara pemahaman umum juga harua dipahami jika kembang api sedemikian banyaknya tentu beresiko apalagi di kawasan banyak pepohonan sehingga mungkin merusak lingkungan.
Baca juga : The Lost World Castle Kini Terlarang untuk Wisatawan
Sebelumnya, ia juga menyoroti jika obwis buatan itu melanggar zonasi dan sudah menjadi perhatian masyarakat. Aturan yang lembek beresiko memicu tindakan serupa dari masyarakat dengan dalih ekonomi.
Pengedalian aktivitas di sekitar Gunung Merapi sebenarnya sedang dilakukan dengan penyusunan peta kolaboratif dan zonasi yang melibatkan pemerintahan wilayah terkait. Dona Saputra Ginting, Kepala Sub Bidang Pertanahan dan Penataan Ruang Bappeda Sleman mengataka peta kolaboratif diperlukan untuk menyamakan persepsi juga menyusun detail aturan sebagai dasar operasional termasuk kegiatan wisata.
Wisata yang diharapkan benar ada di area KRB 3 ialah wisata alam dan budaya, salah satunya seperti labuhan merapi. “Dua jenis wisata ini lebih aman karena hanya dilakukan di siang hari dan waktu-waktu tertentu,” tandasnya. Aktivitas malam hari di daerah rawan bencana sendiri coba dilakukan dengan seminimal mungkin selama ini.