Jogja
Senin, 10 Agustus 2015 - 08:20 WIB

PILKADES 2015 : Money Politic Terus Terjadi

Redaksi Solopos.com  /  Mediani Dyah Natalia  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi (Antara)

Pilkades 2015 masih diwarnai praktik politik uang.

Harianjogja.com, SLEMAN-Pemilihan kepala desa (pilkades) serentak di Kabupaten Sleman Minggu (9/8/2015) masih diwarnai politik uang atau money politic. Salah satu cara provokasi ini dilakukan kader dengan membidik siapa saja warga yang berpotensi menambah suara bagi calon yang ia dukung.

Advertisement

Temuan terjadi di Desa Bimomartani, Kecamatan Ngemplak. Salah satu warga yang telah terdaftar sebagai pemilih tetap bernama Yani, 47, mengaku menerima uang dari pria yang pro terhadap salah satu calon. “Saya terima kemarin [Sabtu]. Tak terima saja wong cuma dikasih dan saya enggak minta. Yang penting saya mantap sama pilihan saya,” kata dia, Minggu (9/8).

Amplop putih berisi uang Rp50.000 itu diberikan seorang pria yang merupakan tetangganya sendiri. “Mungkin dia kader. Atau mungkin hanya utusan kader saya juga nggak tahu,” kata dia cuek. Saat pria itu menyerahkan amplop, ia juga meminta Yani bersedia membalas dengan memberikan suaranya saat pemilihan.

Warga lain dari Sendangadi bernama Ita, 25, sempat mendengar jika ada politik uang di daerahnya. Meski ia sendiri tidak menerima amplop secara langsung. “Daerah sini kabarnya ada [terima uang]. Tapi kalau saya enggak dapet,” kata perempuan yang tinggal tak jauh dari Balai Desa Sendangadi, Mlati.

Advertisement

Menanggapi masih derasnya kasus politik uang, pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Hempri Suyatna mengatakan, adanya politik uang membuktikan bahwa calon masih ragu untuk menang. “Akibatnya mereka menghalalkan berbagai cara yakni dengan money politic itu tadi,” kata Hempri.

Dari sisi penegakan hukum, lanjutnya, praktik politik uang tak ditangani serius oleh pemerintah. Banyak praktik yang cenderung dibiarkan sehingga banyak kompetitor yang tak segan-segan melakukan hal yang sama.

Sementara terkait masyarakat yang dengan mudah menerima uang dari calon, hal itu mencerminkan masyarakat pragmatis. “Apalagi menerima banyak amplop dari banyak calon. Di pemilihan legislatif kemarin sudah seperti itu. Semua amplop diterima,” ungkapnya dosen Fisipol ini.

Advertisement

Namun di sisi lain, Hempri melihat hal itu sebagai bentuk protes dari masyarakat. “Daripada mereka tidak dapat apa-apa ketika calon sudah terpilih maka momentum pemilihan ini sering digunakan sebagai alat masyarakat untuk mendapat sesuatu dari mereka [calon],” kata Hempri.

Hal yang sama juga bakal terjadi saat Pilkada 9 Desember nanti. Terlebih menurut Hempri, dalam Pilkada konteksnya adalah partai politik (parpol).Parpol mengajari untuk pragmatis karena calon yang muncul bukan pilihan rakyat akan tetapi pilihan elite pimpinan parpol.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif