Jogja
Rabu, 23 Desember 2015 - 20:40 WIB

PILOT PESAWAT TEMPUR : Butuh Miliaran Rupiah untuk Mencetak untuk Seorang Fighter

Redaksi Solopos.com  /  Nina Atmasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Penerbang terakhir pesawat Hawk MK 53, Letkol Marda Sarjono (tengah) bersama Mayor Penerbang, Dharma T. Gultom (kiri) mengusap badan pesawat sebagai ungkapan perpisahan di Museum Pusat TNI Angkatan Udara Dirgantara Mandala, Yogyakarta, Sabtu (22/8/2015). (Desi Suryanto/JIBI/Harian Jogja)

Pilot pesawat tempur dicetak denganbiaya mahal. Butuh miliaran rupiah untuk mencetak seorang fighter

Harianjogja.com, JOGJA-Penerbang tempur, sedikit orang mampu menjalani profesi yang bertentangan dengan kodrat manusia ini. Bagaimana proses untuk menjadi fighter ini?

Advertisement

Menjaga kedaulatan udara Indonesia yang begitu luas, memaksa turun pesawat asing yang melintas secara ilegal, memungkinan terburuk melakukan duel udara (dog fight).

Dalam sejarah penerbangan tempur Indonesia, duel udara paling berani baru, pertama kali terjadi yaitu pada 1999 di kawasan Lanud El Tari Kupang, meski tak sampai kontak fisik alutsista. Antara Azhar Adhitama (kini Kolonel Pnb Azhar Adhitama, Danwing Lanud Adisutjipto) yang memakai Hawk 109 dengan sebuah pesawat tempur Australia sekelas F-18 Hornet.

Advertisement

Dalam sejarah penerbangan tempur Indonesia, duel udara paling berani baru, pertama kali terjadi yaitu pada 1999 di kawasan Lanud El Tari Kupang, meski tak sampai kontak fisik alutsista. Antara Azhar Adhitama (kini Kolonel Pnb Azhar Adhitama, Danwing Lanud Adisutjipto) yang memakai Hawk 109 dengan sebuah pesawat tempur Australia sekelas F-18 Hornet.

Dengan beratnya tugas itu, maka tidak mudah untuk menunjuk seorang menjadi fighter. Selain karena harus mumpuni, juga butuh anggaran yang tidak sedikit. TNI AU sendiri mengakui Indonesia masih butuh banyak penerbang tempur. Tidak hanya dengan merekrut dari lulusan AAU namun juga membuka peluang bagi lulusan SMA melalui pendidikan Perwira Sukarela Dinas Pendek (PSDP).

“Kita masih butuh banyak lagi penerbang tempur karena masih kurang,” tegas Kasau Marsekal Agus Supriatna usai melantik lulusan Sekbang A-88 awal Desember lalu.

Advertisement

Jika harga Avtur merujuk pada kuartal keempat 2015 sebesar Rp9.580 maka sekali terbang bagi siswa penerbang pemula butuh Rp689.760 hanya untuk bahan bakar. Sementara setiap penerbang pemula harus menyelesaikan 180 jam terbang. Sehingga butuh Rp124,1 juta untuk bahan bakar selama pendidikan bina terbang.

Jumlah itu belum termasuk biaya perawatan pesawat latih. Seperti hot spot inspection (HSI) yang biasa dilakukan di usia 1.750 jam terbang dan pemeliharaan tingkat berat seperti time between overhaul (TBO) setiap 3.500 jam terbang yang ditaksir mencapai ratusan juta rupiah.

Setiap siswa Sekbang menjalani pendidikan sekitar 2,4 tahun sepertinya halnya Sekbang A-88 yang melakukan pendidikan dari Juli 2013 dan lulus pada Desember 2015. Setiap periode, TNI AU membuka kuota sekitar 16 calon siswa.

Advertisement

Tapi hanya sedikit yang diarahkan ke satuan tempur, Sekbang A-88 empat siswa yang dinyatakan lolos ke penjurusan tempur. Lulus dari sekolah ini, bukan berarti langsung bisa ikut operasi penerbangan militer secara mandiri. Calon fighter harus mengikuti pendidikan sesuai jurusan tempur agar mampu mengemudikan pesawat bergengsi sekaliber F-16, Sukhoi dan Hawk 109/209.

Mereka lebih dahulu digembleng di Skuadron Udara 15 Lanud Iswahjudi Madiun untuk berlatih menggunakan T-50 Golden Eagle dan Skuadron Udara 21 Lanud Abdulrahman Saleh Malang memakai pesawat latih tempur EMB- Super Tucano buatan Brazil.

Di jurusan tempur ini, penerbang juga harus menyelesaikan 180 jam terbang. Bisa dibayangkan berapa anggaran yang harus dikeluarkan untuk berlatih menggunakan pesawat tempur ringan, tentu miliaran rupiah untuk satu calon penerbang tempur saja.

Advertisement

“Untuk jurusan tempur menggunakan dua jenis pesawat latih sekitar 180 jam terbang,” ungkap salahsatu penerbang tempur senior yang enggan disebut namanya, Selasa (22/12/2015).

Setelah mampu melakukan terbang solo menggunakan pesawat latih tempur. Maka penerbang itu baru bisa ditempatkan sebagai penerbang F-16, Sukhoi dan Hawk 109/209. Tapi tentu harus menjalankan pendidikan di satuan tempur itu lagi dengan mengikuti puluhan jam terbang yang biasanya ditempatkan sebagai kopilot baik F-16 atau Sukhoi.

Jika sekali jalan F-16 butuh Rp50 Juta, maka tentu habis ratusan juta hingga miliaran rupiah untuk mencetak seorang anggota TNI agar mampu mengendalikan sendiri F-16 atau Sukhoi. Jika dikalkulasi secara kuantitatif dan kualitatif, pendidikan seorang penerbang sejatinya lebih mahal dari harga pesawat tempur itu sendiri. Karena satu penerbang senior bisa melahirkan calon-calon penerbang junior lainnya.

“Dengan adanya yang gugur, tentu kita kehilangan, memang kita melakukan kegiatan sebagai penerbang ini di luar kodrat manusia, ada resikonya,” ungkap Danlanud Adisutjipto Marsma Imran Baidirus.

Advertisement
Kata Kunci : Pilot Pesawat Tempur
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif