Jogja
Rabu, 9 Mei 2012 - 09:30 WIB

POLEMIK PASIR BESI: Bara The Jewel of Java...

Redaksi Solopos.com  /  Harian Jogja  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Demo menolak tambang pasir besi beberapa waktu lalu (JIBI/Harian Jogja/Desi Suryanto)

Demo menolak tambang pasir besi beberapa waktu lalu (JIBI/Harian Jogja/Desi Suryanto)

Tatapan tajam penuh curiga menyambut kedatangan Harian Jogja di pesisir Desa Bugel, Kecamatan Panjatan, Senin (7/5). Suasana tempat yang sepi, semakin menampilkan kesan angker.

Advertisement

“Mari silakan masuk,” sambut pria berkacamata yang menjadi tujuan kedatangan Harian Jogja. Saat ditemui, ia tengah asyik membaca koran untuk mengetahui perkembangan informasi terkini.

“Saya minta nama saya jangan ditulis. Bisa-bisa besok rumah saya digeruduk warga yang tidak sepaham dengan saya,” pintanya. Ya, sekitar enam tahun ini, masyarakat pesisir Bugel, serta desa lainnya hidup terkotak-kotak, antara yang pro penambangan pasir besi serta yang menolak.

Advertisement

“Saya minta nama saya jangan ditulis. Bisa-bisa besok rumah saya digeruduk warga yang tidak sepaham dengan saya,” pintanya. Ya, sekitar enam tahun ini, masyarakat pesisir Bugel, serta desa lainnya hidup terkotak-kotak, antara yang pro penambangan pasir besi serta yang menolak.

Di dusun tersebut, dari 40 kepala keluarga, ada seperlima yang mendukung penambangan pasir besi oleh PT Jogja Magasa Iron (JMI). Selebihnya, mati-matian menolak.

“Sebenarnya saya risau dengan keadaan ini,” lanjut pria paruh baya tersebut. Kerisauan itu cukup beralasan, sebab, permusuhan sudah ditanamkan dalam benak anak-anak kecil di daerah itu.

Advertisement

Di tingkat SD, anak-anak juga sudah didoktrin agar tidak bergaul dengan anak yang berasal dari keluarga yang memiliki haluan berbeda. “Saat mengantar atau menjemput anak sekolah, para orangtua kumpul sendiri-sendiri. Anak-anak juga bermain sendiri-sendiri tidak menyatu,” lanjutnya.

Bahkan yang lebih memprihatinkan, Masjid Bayati yang sebelumnya kerap digunakan sebagai lokasi pelaksanaan ibadah Salat Jumat, saat ini kosong. Jika digunakan, itu juga hanya segelintir warga yang pro penambangan. Selebihnya, mayoritas warga di lokasi tersebut memilih beribadah di musala.

Ada lagi kenyataan yang menurut dia sungguh memilukan hati. Belum lama ini, ada salah seorang warga yang meninggal dunia. Oleh kelompok warga yang berseberangan dengan almarhum, para pelayat tidak diperkenankan untuk melayat di tempat duka. “Jadi sepi pelayat yang datang ke rumah duka,” ujarnya.

Advertisement

Suprapti, 34, dan Kuntarsih, 30, petani di Dusun I, Desa Bugel, mengakui hal itu. Mereka juga mengakui, para pendukung penambangan diasingkan dari pergaulan masyarakat sekitar. “Ibaratnya mereka itu pengkhianat. Kerja di lahan sini juga, tapi mendukung. Kami ini petani, hidupnya dari bertani. Kalau tidak bertani mau diberi makan apa anak dan cucu kami nanti,” ujar Suprapti. Mereka tetap berkomitmen untuk mempertahankan lahan pertanian di pesisir tersebut yang sudah dikelola selama delapan tahun.

Permasalahan itu juga diakui Pemerintah Desa (Pemdes) Bugel. Menurut Sekdes Bugel, Supri Rochmadi, “Sebenarnya beda pendapat itu sah-sah saja, tapi semestinya kegiatan sosial kemasyarakatan tetap terjaga,” ujarnya saat ditemui di Balaidesa Bugel, Senin (7/8).

Menurutnya, khusus untuk wilayah Bugel, di Dusun I, meski jumlahnya tidak banyak, warga pro penambangan berani untuk unjuk gigi. “Kalau di Dusun II, mayoritas memang menolak,” ujarnya.

Advertisement

Khusus untuk Dusun I, karena mayoritas warga mengira kadus setempat mendukung penambangan, segala urusan administrasi, langsung diajukan warga ke Balaidesa. Tapi sesuai peraturan, pemdes menolak karena harus berdasarkan prosedur yakni melalui kadus setempat. “Akhirnya mereka tetap meminta bantuan kadus, tapi dengan rasa pakewuh,” lanjut dia.

Akibat friksi itu, terang Supri, program pembangunan desa tidak berjalan maksimal. Masyarakat yang kontra terhadap penambangan, menurutnya selalu mencurigai setiap kegiatan yang digulirkan Pemkab Kulonprogo.

Masalah sama juga mulai muncul di Desa Karangsewu, Kecamatan Galur. Salah satu contohnya, lantaran perbedaan persepsi terkait penambangan pasir besi, kegiatan Karang Taruna mati suri.

Menurut Kabag Kemasyarakatan Desa Karangsewu, Triyanto Harjono, kegiatan Karang Taruna tidak aktif sejak setahun silam. Pasalnya, ketua Karang Taruna, Maryanto, yang tergabung dalam kelompok warga anti penambangan tidak mau membaur lagi. “Kalau ada kegiatan atau rapat, kami selalu mengirimkan undangan ke dia [Maryanto] tapi dia tidak pernah datang. Istilahnya sudah tidak mau membaur dengan masyarakat,” ujar Triyanto.

Menanggapi hal itu, Kepala Kantor Kesbanglinmas Kulonprogo, Suwarna mengatakan, sebenarnya tidak ada masalah antarwarga. “Itu cuma bikin-bikinan saja,” ujar dia. Menurutnya, masyarakat yang menentang penambangan sudah disusupi ormas atau LSM yang memberikan informasi kabur kepada warga.

”Yang penting saat ini penegakkan hukum yang utama. Dan untuk soal itu kami serahkan kepada kepolisian. Setelah kontrak karya berjalan, tidak ada lagi warga pro dan kontra. Semua warga Kulonprogo,” ujarnya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif