Jogja
Rabu, 8 Maret 2017 - 17:07 WIB

Polisi Gagap Tangani Difabel yang Berhadapan dengan Hukum

Redaksi Solopos.com  /  Nina Atmasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Penyandang disabilitas mengikuti tes mengendarai sepeda motor untuk pembuatan SIM D khusus difabel di Mapolres Kudus, Jateng, Rabu (7/12/2016). (JIBI/Solopos/Antara/Yusuf Nugroho)

Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta mengaku terkendala dalam menangani difabel yang berhadapan dengan hukum baik sebagai saksi, korban, atau pun pelaku

 

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA– -Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta mengaku terkendala dalam menangani difabel yang berhadapan dengan hukum baik sebagai saksi, korban, atau pun pelaku. Akibatnya banyak kasus pidana yang melibatkan difabel tidak terselesaikan.

Selama ini dalam proses penanganan hukum termasuk pada difabel, penyidik kepolisian mengacu pada Pasal 184 KUHP untuk menentukan alat bukti suatu tindak pidana benar-benar dilakukan. Namun, dalam proses menggali informasi sebagai alat bukti, penyidik kesulitan terutama bagi difabel tuna rungu, tuna wicara, dan tuna netra.

“Dalam proses penegakan hukum dibatasi dengan aturan yang sudah ada. Itu sebabnya menjadi suatu kendala utama kami, sehingga terkesan setiap persoalan [penegakan hukum bagi difabel] menggantung atau tidak jelas, padahal tak ada tendesnsi lain,” ungkap Direktur Reserse Kriminal Umum Polda DIY, Komisaris Besar Polisi Frans Tjahyono, disela-sela acar Focus Group Discussion (FGD) tentang Layanan Kepolisian yang Ramah Bagi Digfabel yang Berhadapan dengan Hukum di Hotel Sakanti, Gowongan, Jetis, Selasa (7/3/2017).

Advertisement

Diskusi bersama Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilits DIY itu juga menghadirkan sejumlah stakeholder, termasuk kejaksaan dan Pemda DIY.

Frans mengaku penyidik juga mengedepankan hati nurani dalam menangani kasus yang melibatkan difabel. Namun, pemakluman polisi, kata dia, dibatasi oleh aturan karena polisi tidak bekerja sendirian.

Ia mengaku sudah sering kali menerima pengembalian berkas perkara dari kejaksaan karena penetapan pasal sangkaan yang tidak sesuai, misalnya dengan kehadiran penerjemah untuk mewakili terperiksa difabel yang dimasukkan dalam Berita Acar pemeriksaan (BAP) belum ada formulanya yang disepakati bersama dengan penegak hukum lain dari kejaksaan dan hakim sehingga berkas perkara kembali mental.

Advertisement

“Hati nurani sangat kita pahami. Namun kembali bahwa kita tak boleh keluar dari ketentuan formil. Kalau dari kejaksaan dan hakim bisa menerima mungkin kita bisa memahami,” ucap Frans.

Karena itu pihaknya berharap ada formula baru diluar ketentuan KUHP yang bisa disepakati bersama dalam FGD tersebut yang bisa menjadi acuan kepolisian dalam menangani difabel yang berhadapan dengan hukum.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif