Jogja
Jumat, 22 Desember 2017 - 22:40 WIB

Profesor Asing Soroti Pelintiran Kebencian

Redaksi Solopos.com  /  Bhekti Suryani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi hate speech atau ujaran kebencian di media sosial. (arpitgarg.com)

Pelintiran kebencian merusak demokrasi.

Harianjogja.com, SLEMAN–Institute of International Studies (IIS) Universitas Gadjah Mada bersama Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Yayasan Wakaf Paramadina menerjemahkan buku Hate Spin karya Cherian George yang juga seorang profesor bidang jurnalisme di Hongkong Baptist Univeristy.

Advertisement

Adapun buku yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia berjudul Pelintiran Kebencian, Rekayasa Ketersinggungan Agama dan Ancamannya bagi Demokrasi yang secara resmi diluncurkan pada kamis (21/12/2017) di Ruang Auditorium Lantai 4 Fisipol UGM.

Irsyad Rafsadie Editor Buku dan Peneliti PUSAD menjelaskan, buku itu ditulis berdasarkan kegelisahan Cherian George melihat naiknya ancaman politik, pertikaian agama. Ia menyebutnya dengan istilah pelintiran kebencian terhadap demokrasi. George juga mengajak berbagai pihak untuk lebih mendorong kesetaraan warga negara dan tidak gegabah dalam mempidanakan ujaran.

“Demokrasi terancam ketika kelompok rentan terus mengalami intimidasi atau diskriminasi dan suara yang dianggap melukai perasaan kelompok dominan yang semakin dibungkam,” terangnya dalam rilis kepada Harianjogja.com, Jumat (22/12/2017). Menurutnya, buku ini memberikan peringatan penting untuk menangkal kebencian dan menyingkap kepentingan para aktor politik di baliknya.

Advertisement

Ketua Prodi Agama dan Lintas Budaya UGM Zainal Abidin Bagir menyorot tentang pola pelintiran kebencian yang terjadi akhir-akhir ini. Ada berbagai tindakan pelaku pelintiran kebencian, seperti penegasan eksistensi diri, klaim diri sebagai korban hingga menuntut kehormatan. Di beberapa negara, arena pelintiran kebencian itu mengarah pada pertarungan politik, lebih spesifik yakni pemilihan umum.

“Penulis buku ini menyarankan sebuah solusi dengan pluralisme asertif. Istilah tersebut merujuk pada tatanan konstitusional yang multikultur dan melindungi kesetaraan lebih unggul daripada pengistimewaan salah satu identitas agama dan budaya,” jelasnya.

Bagir berpendapat, pluralisme asertif tidak menafikan identitas keagamaan seseorang tetapi menuntut agar orang-orang tak menyangkal keberagaman. Pluralisme asertif tidak menafikan peran agama dalam kehidupan publik negara demokrasi. Namun, menentang keras pandangan bahwa legitimasi dan penghormatan hanya dapat diperoleh satu agama saja serta mengesampingkan agama lain.

Advertisement

Hate spin adalah tindakan politik yang dilakukan oleh wirausahawan politik untuk mencapai tujuan politik bukan soal agama, tetapi modus politisasi agama,” ungkap dia.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif