SOLOPOS.COM - Ilustrasi Pungli (Dok/JIBI/Solopos)

Potensi pungli paling besar terjadi di lingkungan pendidikan, terutama di sekolah.

Harianjogja.com, SLEMAN- Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Sleman masih menggunakan metode pengawasan secara internal untuk mengantisipasi praktik pungutan liar (pungli) di lingkungan sekolah. Padahal, potensi praktik pungli di sektor ini cukup besar.

Promosi Gonta Ganti Pelatih Timnas Bukan Solusi, PSSI!

Pegiat antikorupsi dari Pukat UGM Hifdzil Alim mengatakan, ada sejumlah sektor layanan publik yang rawan dengan praktik pungli. Potensi pungli paling besar terjadi di lingkungan pendidikan, terutama di sekolah. Menurutnya, pungli di sekolah lebih banyak ditujukan pada sektor pembiayaan yang dibebankan kepada wali murid. “Misalnya untuk kegiatan-kegiatan insidental di luar perencanaan. Biayanya macam-macam, salah satunya untuk study tour dan entertainment,” jelasnya kepada Harian Jogja, Jumat (4/11/2016).

Hifdzil berpendapat, pungutan biaya pendidikan yang ditarik saat tahun anggaran berjalan bisa dikategorikan sebagai pungli. Menurutnya, seluruh biaya pendidikan harus disampaikan sejak awal tahun ajaran dan tidak boleh diubah. Oleh karenanya, kata Hifdzil, sekolah harus memiliki perencanaan yang baik dalam menyusun anggaran. “Selain sektor pendidikan, beberapa bidang lainnya yang perlu disoroti adalah bidang perizinan. Potensi pungli di bidang ini cukup besar,” jelas Hifdzil.

Menjawab hal itu, Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Sleman Arif Haryono menegaskan, masalah pungutan di sekolah sudah diatur dalam peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan (Permendikbud) No.44/2012. Menurutnya, terdapat perbedaan mendasar pungutan bagi sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP). “Untuk SD dan SMP. Jelas, tidak boleh ada pungutan. Yang ada hanya sumbangan sukarela tanpa mengikat. Kami sudah mengingatkan masalah tersebut ke masing-masing sekolah. Sampai saat ini belum ada laporan adanya pungli,” tegasnya.

Dia menjelaskan, sekolah yang meminta partisipasi orangtua bisa dilakukan secara sukarela. Itupun, katanya, harus melewati empat persyaratan. Pertama, sumbangan sukarela dilakukan atas inisiatif penyumbang. Kedua, sekolah tidak boleh menentukan besaran sumbangan yang diberikan, ketiga, sumbangan sukarela yang diberikan tidak ditentukan waktunya. “Keempat, sumbangan sukarela tidak menjadi sebuah persyaratan dan tidak ada ketentuan besaran sukarelanya,” ujarnya.

Di samping empat syarat tersebut, kata Arif, sumbangan sukarela tujuannya harus jelas dan sesuai dengan rencana kerja tahunan sekolah (RKAS) dan disahkan menjadi anggaran pendapatan belanja sekolah (APBS). Di luar RKAS dan APBS, katanya, bentuk pungutan tidak diperbolehkan. “Hanya saja, ada sumbangan yang tidak bisa ditentukan nominalnya. Sekolah bisa melakukan APBS Perubahan. Ketentuan ini berbeda dengan SMA/SMK di mana masyarakat diperbolehkan untuk ikut berpartisipasi dalam biaya pendidikan,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya