Jogja
Selasa, 9 Juni 2015 - 20:20 WIB

RAMADAN 2015 : Sadranan, Ziarah Kubur hingga Media Pengingat Wajib Pajak

Redaksi Solopos.com  /  Mediani Dyah Natalia  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Warga mengelilingi makanan yang dibawa dalam acara Sadranan, Senin (8/6/2015). (JIBI/Harian Jogja/Bernadheta Dian Saraswati)

Ramadan 2015 sebentar lagi, warga pun lakukan budaya nyadran.

Harianjogja.com, SLEMAN-Beberapa hari sebelum memasuki bulan suci Ramadan, masyarakat Sleman utamanya yang tinggal di daerah pedesaan, mulai hingar bingar dengan kegiatan Sadranan. Beberapa hari sebelum hari itu tiba, warga berbondong-bondong ke makam leluhur untuk melakukan bersih-bersih makam.

Advertisement

Pun dengan warga di Pedukuhan Koroulon kidul, Desa Bimomartani, Kecamatan Ngemplak. Tepat di tanggal 20 Jawa atau yang jatuh pada Senin (8/6/2015), baik tua-muda, laki-laki maupun perempuan, semua berkumpul di samping tempat pemakaman umum (TPU) di kampung itu. Sembari membawa bunga tabur dan juga makanan, mereka duduk bersama keluarga.

Setelah semua keluarga berkumpul, makanan-makanan sesaji itu pun ditinggalkan sejenak di atas tikar. Mereka menuju makam leluhur yang berada tak jauh dari lokasi Sadranan. Satu persatu helai daun mawar pun ditaburkan di atas nisan. Wewangian juga turut disiramkan. Sejenak memandang pusara sang leluhur, warga mulai berdoa. Tak berselang lama, mereka kembali ke lokasi Sadranan dan melanjutkan doa bersama semua warga yang dipimpin seorang Rois.

Advertisement

Setelah semua keluarga berkumpul, makanan-makanan sesaji itu pun ditinggalkan sejenak di atas tikar. Mereka menuju makam leluhur yang berada tak jauh dari lokasi Sadranan. Satu persatu helai daun mawar pun ditaburkan di atas nisan. Wewangian juga turut disiramkan. Sejenak memandang pusara sang leluhur, warga mulai berdoa. Tak berselang lama, mereka kembali ke lokasi Sadranan dan melanjutkan doa bersama semua warga yang dipimpin seorang Rois.

“Pada intinya, tradisi Sadranan atau Nyadran ini bertujuan memohonkan maaf pada Tuhan atas kesalahan yang dilakukan leluhur yang telah mendahului kita,” ungkap Kepala Dusun (Kadus) Koroulon Kidul, Sucipto di sela-sela upacara. Hal itu dilakukan dengan bersih makam, berdoa, dan membawa sesajian berupa nasi tumpeng yang lengkap dengan lauk pauknya dan tak lupa juga buah pisang.

Nasi tumpeng memiliki makna agar permohonan kepada Tuhan dikabulkan sedangkan pisang memiliki makna permohonan akan hidup bahagia.

Advertisement

“Hal ini bukti nyata bahwa Sadranan membuat warga guyub,” lanjutnya.

Bagi salah satu warga non-Muslim yang ikut dalam acara Sadranan, Sukamto, sudah berpuluh-puluh tahun keluarganya selalu ikut kegiatan Sadranan.

“Bagi saya, siapapun yang leluhurnya dimakamkan di sini [makam Koroulon Kidul], berhak ikut Nyadran. Karena inti upacara ini adalah mendoakan leluhur kita,” ungkapnya.

Advertisement

Bagi Sukamto, tradisi Sadranan yang setiap tahun dilaksanakan di dusunnya itu menjadi media pertemuan bagi warga sekitar dan juga kerabat dari luar daerah.

“Kalau ada Nyadran, keluarga di tempat lain, Jakarta, Pekalongan, Jogja Kota, pada pulang,” ucapnya.

Setelah doa dalam tradisi Sadranan itu selesai, semua warga duduk melingkar mengelilingi makanan yang dibawanya. Mereka makan bersama dan saling menanyakan kabar masing-masing.

Advertisement

Tak hanya itu, sang Kadus pun juga memanfaatkan kesempatan dengan mengingatkan para warga agar mentaati peraturan wajib pajak yang telah ditetapkan pemerintah. Bahkan imbauan membersihkan pembuangan air limbah di masing-masing rumah tangga juga disampaikan dalam kesempatan itu.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif