SOLOPOS.COM - Salah satu adegan dalam rela ulang Palagan Rejodani, Minggu (20/4/2014). (Rima Sekarani/JIBI/Harian Jogja)

Suara ledakan dan tembakan beruntun terdengar di sekitar Kecamatan Ngaglik. Beberapa orang berpakaian pejuang masa lalu mengadang sebuah mobil yang membawa pasukan Belanda. Apa yang sedang terjadi? Berikut laporan wartawan Harian Jogja, Rima Sekarani I.N.

Dini hari, 29 Mei 1949 sekitar pukul 04.30 WIB,  informasi bakal datangnya pasukan Belanda mulai menyebar di kalangan pedagang di Pasar Rejodani, yang mulai berjualan. Mendengar kabar itu, Tentara Pelajar Brigade 17 berencana mengadang konvoi bala tentara Belanda di daerah Ngetiran.

Promosi Meniti Jalan Terakhir menuju Paris

Saat pengadangan, kompi pejuang Tentara Pelajar BE 17 berhadapan langsung dengan satu batalyon dari pasukan Batalyon T Baret Merah Belanda. Baku tembak tak dapat dihindarkan. Dentuman dan ledakan pun terdengar dengan kerasnya.

Sayang, pejuang Indonesia kalah jumlah dan kehabisan amunisi. Mereka terkepung Belanda. Tak bisa maju maupun mundur. Satu-satunya cara hanya bertahan di posisi tersebut hingga seluruh peluru habis.

Pada saat terdesak itulah, Soepranoto dan FX.Soekapdi menghunus sangkur dan langsung berlari menuju barisan pasukan Belanda. Berondongan peluru langsung menghujani tubuh mereka. Kedua pejuang itupun gugur di medan laga. Selain keduanya, masih ada enam pejuang lain yang gugur dalam pertempuran tersebut. Mereka adalah pemuda-pemuda kampung Rejodani.

Pada kondisi yang tampaknya mulai aman bagi pasukan Belanda, tiba-tiba seorang pejuang yang masih sempat bertahan menembakkan pelurunya. Komandan Batalyon dari pasukan Belanda pun tertembak mati. Melihat pemimpinnya terbunuh, Belanda segera menarik mundur pasukannya.

Ketika pasukan Belanda menarik mundur pasukannya, ratusan warga langsung bertepuk tangan. Mereka seakan merasakan kemenangan karena Komandan Batalyon pasukan Belanda terbunuh. Peristiwa tersebut kemudian dikenang sebagai Palagan Rejodani.

Masyarakat yang bertepuk tangan tidak berpakaian dan berpenampilan layaknya orang pada masa itu. Ya, pertempuran pagi itu hanyalah reka ulang kejadian oleh komunitas pejuang Djokjakarta 1945.

“Kami ingin mengobarkan kembali semangat merdeka atau mati,” kata Eko Isdianto, Ketua Djokjakarta 1945 seusai pertunjukan di Lapangan Desa Donoharjo, Minggu (20/4/2014).

Eko Isdianto menjamin seluruh peralatan, termasuk senjata dan beberapa petasan aman bagi pemain maupun penonton. “Sebelumnya sudah persiapan dan semuanya terlatih,” ucapnya. Bersama 19 orang lain dalam timnya, dia hanya ingin menyampaikan ungkapan sederhana yang barangkali sering terlupakan. “Tiada sekarang tanpa dahulu,” kata Eko Isdianto.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya