SOLOPOS.COM - Foto Perlintasan 344-348 antara Gowok dan Janti JIBI/Harian Jogja/Sunartono

Foto Perlintasan 344-348 antara Gowok dan Janti
JIBI/Harian Jogja/Sunartono

Dua kasus bunuh diri terjadi di perlintasan kereta api antara Gowok hingga Janti Depok Sleman. Yuni Roroati Ningsih, 45, memandangi langit Jogja yang tengah menjadi jalan tanpa marka bagi pesawat terbang. Dengan suara menggelegar pesawat itu lurus simetris dengan rel kereta api depan rumahnya.

Promosi Primata, Permata Indonesia yang Terancam Hilang

Perempuan satu anak ini sudah 13 tahun tinggal di samping rel kereta api perlintasan antara 344 hingga 348 atau kawasan Gowok hingga Janti Depok Sleman.

Ia mulai terbiasa dengan kerasnya suara pesawat dan gempa lokal
akibat kereta yang lewat. Bukan persoalan mudah ia beradaptasi tinggal di pinggir rel. Tegangan saat kereta api melintas sebenarnya dengan mudah bisa ia kendalikan dalam beberapa bulan.

Akan tetapi butuh tahunan untuk membuat stabil psikologinya yang sempat terganggu di balik membujurnya rel kereta api itu. Yakni persoalan bunuh diri atau melayangnya nyawa di rel sekitar rumahnya. Tanpa disadari peristiwa ini menjadi beban psikologi sebagian besar warga sekitar rel.

Tiba-tiba mata Yuni melirik ke samping kanan, tangannya memegang pagar bambu yang tertata seperti anyaman depan rumahnya.

Ia mencoba mengingat berapa kali peristiwa nyawa melayang di perlintasan 344 hingga 348 yang kerap dikenal dengan rel Gerandong itu. Gerandong adalah sebutan salah satu tokoh antagonis dalam film laga yang terkenal sebagai pemakan darah.

Memori otak wanita itu mulai terbuka, meski sedikit lelet satu persatu peristiwa di depan rumahnya berhasil ia ingat. Bahwa peristiwa bunuh diri atau tewasnya nyawa di rel kereta api kerap kali terjadi dalam jangka lama dengan korban yang lebih dari satu.

“Lama tidak ada kejadian [ditabrak] tapi seringkali tiba-tiba ada dan lebih dari satu korbannya seperti musiman,” ujarnya saat berbincang dengan Harianjogja.com di rumahnya Kamis (30/5).

Yuni menyandarkan tangannya yang basah di pagar bambu tipis, ia baru saja selesai mencuci pakaian. Teras yang sempit membuat ia harus berkomunikasi dengan cara berdiri saja. Menurutnya sekitar 2003 lalu terdapat tiga orang dalam waktu berdekatan yang tewas tertabrak kereta. Ketiganya adalah kuli bangunan yang tengah menggarap perumahan sebelah selatan perlintasan 348.

Dua tahun kemudian, kata dia, ada tiga orang lagi yang juga warga Pedak Baru, Gowok, Depok Sleman yang yang meninggal ditabrak kereta di sebelah barat perlintasan. Seterusnya dua tahun kemudian atau sekitar 2007 ada seorang nenek yang ditabrak kereta api yang juga warga sekitar.

Masih di antara perlintasan 344 hingga 348 dua tahun kemudian ada dua orang yang tengah mendengar musik dengan headshet juga tewas.

“Kalau keserempet saat mabuk itu sering banget,” ucapnya. Kawasan tersebut memang kerap menjadi tempat untuk pesta minuman keras saat malam hari oleh sejumlah orang.

Dengan semangat empat lima ia menceritakan tewasnya Yoga Cahyadi, promotor musik. Dua hari kemudian Sri Hartati, warga Jomblang, Banguntapan Bantul juga tewas bunuh diri di tempat itu.

“Kalau diingat-ingat iya kan? Beberapa waktu berhenti tetapi kemudian muncul lagi dengan korban banyak,” ucap Yuni.

Terlepas dari kebetulan atau tidaknya, tetapi Yuni mengakui jika fenomena bunuh diri di rel cukup meresahkan. Ada rasa kekhawatiran dan ketakutan warga. Beban psikologi kerap menyelimuti, terutama anak-anak. Bahkan ia sempat merasakan dampak beban psikologi itu.
“Pernah saya merasakan takut saat berada di dalam rumah, salat tidak khusuk,” kata dia.

Meski demikian ia berusaha untuk mengambil hikmah di balik peristiwa itu. Seringkali di rumah ia menggelar pengajian dengan harapan tidak ada gangguan yang berkenaan dengan rel depan rumahnya. Ada hasil ketentraman ketika pendekatan diri kepada Tuhan itu dilakukan dengan ikhlas.

Yuni meyakini bahwa yang ghaib itu ada, godaan setan untuk bunuh diri kadang muncul kepada siapa saja. Rel kereta api menjadi salah satu yang bisa menjadi medianya.

Warga lainnya Nyonya Marsidi merasakan beban psikologis serupa. Meski perlahan sudah terbiasa dan datang lagi saat ada peristiwa terjadi. “Perasaan takut mesti ada,” ujar wanita yang suaminya ikut mengevakuasi tubuh Yoga Cahyadi.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya