SOLOPOS.COM - Istri Gur Dur, Shinta Nuriyah Wahid memberikan testimoni saat acara sewindu haul Gus Dur di Universitas Sanata Dharma pada Senin (5/2/2018). (Irwan A. Syambudi/JIBI/Harian Jogja)

Ribuan orang hadir dalam peringatan sewindu haul Gusdur.

Harianjogja.com, SLEMAN–Ribuan masyarakat bersama sejumlah tokoh dan penggiat lintas iman memperingati sewindu wafatnya Presiden Indonesia ke-4 Abdurahman Wahid atau Gus Dur.

Promosi Berteman dengan Merapi yang Tak Pernah Berhenti Bergemuruh

Dalam peringatan bertajuk Ziarah Budaya yang dihelat di Universitas Sanata Dharma pada Senin (5 /2/2018) itu dihadiri kurang lebih 1.300 orang. Selain istri Gus Dur, Shinta Nuriyah Wahid dan putrinya Alisa Wahid, sejumlah tokoh juga turut hadir di antaranya adalah Gusti Kanjeng Ratu Hemas, Ulil Absar Abdalla, dan juga Prof. Mahfud MD.

Tidak hanya itu, sejumlah pegiat lintas iman, dari berbagai kalangan seperti kalangan Islam, Katolik, Buddha, Khonghucu, Hindu juga turut hadir. Mereka merupakan aktivis yang bergerak di isu-isu toleransi antar-umat beragama.

Ketua panitia acara, M. Fakhrur Rifai, mengatakan ziarah budaya bukan hanya untuk mengagungkan nama Gus Dur. Namun dimaksudkan untuk merefleksikan nilai-nilai yang Gus Dur ajarkan, yakni kemanusiaan dan pluralisme. “Kami prihatin atas situasi Indonesia saat ini. Banyak yang mengatasnamakan agama untuk mencapai kepentingan sesaat. Dampaknya adalah perpecahan,” kata dia, Senin.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Prof. Mahfud MD yang berkesemapatan menyampaikan pidato kebudayaan menyebut Gus Dur adalah tokoh Islam sekaligus tokoh bangsa. Gus Dur memaknai bernegara dalam suatu perbedaan suku, ras, dan agama merupakan suatu fitrah dari Tuhan.

“Di muka bumi ini dan di berbagai tempat manusia itu selalu berbeda. Itu sebenarnya dari ide yang paling pokok dalam kita hidup bernegara, seperti yang dikampanyekan Gus Dur itu adalah pluralisme. Pruralisme adalah faham bahwa niscaya kita berbeda dan harus saling menghargai perbedaan itu,” ungkapnya.

Sementara itu, Shinta Nuriyah Wahid dalam testimoninya menyebut bahwa memang sebagian besar hidup Gus Dur diabdikan untuk merajut sekaligus merawat dan menjaga perbedaan kebudayaan yang ada di Indonesia. Karena bagi Gus Dur kebudayaan adalah cermin dasar dari kemanusiaan, artinya manusia bisa menegakkan harkat dan martabatnya kalau dia masih berkebudayaan. Sebaliknya jika sudah tidak berkebudayaan akan sama dengan hewan.

“Dalam upaya merajut, merawat dan menjaga perbedaan, Gus Dur selalu melakukannya dengan cara berdialog dan berkomunikasi secara intens,” kata dia.

Namun tidak hanya itu, baginya yang lebih menarik dari Gus Dur adalah kemampuannya untuk mendamaikan bermacam-macam perbedaan dan kesabarannya untuk merawat dan melayani berbagai ragam perbedaan. “Tidak hanya kebudayaan yang besar dan mayoritas, bahkan kebudayaan-kebudyaan minoritas,” ujar Shinta.

Sebagai informasi, haul sewindu meninggalnya Gus Dur melibatkan sedikitnya 60 komunitas dan kelompok. Ratusan orang pun terlibat dalam rangkaian kegiatan, seperti diskusi yang menghadirkan banyak tokoh intelektual, pameran foto bertema Gus Dur, dan pentas seni.

Sementara itu, selain di Jogja haul Gus Dur juga digelar di 99 titik di 66 daerah dan empat negara yang ikut memperingati.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya