SOLOPOS.COM - Sejumlah abdi dalem saat seusai mengikuti prosesi wisuda dan kenaikan pangkat di komplek kraton, Kamis (19/2/2015) (JIBI/Harian Jogja/Ujang Hasanudin)

Sabda Raja Ngayogyakarta menimbulkan polemik di lingkungan internal Kraton Jogja, namun para abdi dalem tetap tenteram

Harianjogja.com, JOGJA- Ratusan abdi dalem keprajan-abdi dalem pegawai negeri dan pensiunan PNS antre untuk sungkem dengan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X di Bangsal Kepatihan, Rabu (29/7/2015). Tradisi sungkem ini sebagai wujud permohonan maaf abdi dalem pada Sultan. Berikut laporan wartawan Harian Jogja, Ujang Hasanudin

Promosi Mudik: Traveling Massal sejak Era Majapahit, Ekonomi & Polusi Meningkat Tajam

Tradisi sungkeman ini sudah berlangsung dari tahun ke tahun. Sebelumnya Sultan juga sudah menerima sungkem dari keluarganya, abdi dalem, hingga masyarakat Jogja. Namun untuk abdi dalem keprajan baru digelar kemarin.

“Abdi dalem Kraton juga banyak yang datang karena waktu Ngabekten masih pada bertugas,” ucap Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Sumonegoro, 71.

Sumonegoro merupakan pensiunan Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Pemda DIY. Ia memutuskan mengabdikan diri pada Kraton sejak 1986 lalu. Saat itu pangkatnya masih Wedono (pangkat terendah abdi dalem) hingga kini ia berpangkat Bupati Kliwon (pangkat tertinggi). Ia bertugas mengurusi keuangan di Dworo Puro (semacam lembaga humas).

Keinginannya mengabdi pada Kraton tidak lepas dari apa yang diajarkan kakek dan ayahnya, yang juga mengabdikan hidupnya di Kraton. Mengabdi pada Kraton baginya bukan materi yang dicari, melainkan ketenangan hati. “Jadi abdi dalem itu saya selalu merasa tentrem,” ucapnya.

Ketentraman diakuinya bahkan tidak terpengaruh meski dalam Kraton sempat ada kisruh soal Sadba Raja yang dikeluarkan Sultan, beberapa waktu lalu. Menurutnya, semua abdi dalem hingga saat ini dalam keadaan tenang, karena abdi dalem adalah abdi budaya, yang mengabdi pada institusi Kraton.

Perasaan tentram yang dia rasakan setiap hari itu pun ia ajarkan pada 10 anak dan lima cucunya. Dia berharap keturunannya juga mengikuti langkahnya mendalami dan menjalankan kabudayaan jawa khusunya dari Kraton.

Senada juga diungkapkan seorang polisi berpangkat Inspektur Polisi Dua (Ipda) Sumarno. Pria yang kini menjabat Kepala Sub Terminal Giwangan ini memutuskan untuk mengajukan diri menjadi abdi dalem sejak 2011 lalu. Ia kemudian diberi nama baru, yakni KRT Sumarno Kusumoyudho.

“Saya orang jawa asli ingin belajar tata cara jawa, ingin mengabdikan diri pada Kraton,” kata dia.

Ia mengaku banyak mempelajari kabudayaan jawa yang bisa ia implementasikan di masyarakat, seperti budaya nerimo dalam segala hal, setelah berusaha. Berbeda dengan Sumarno dan Sumonegoro, Suyatiman Cermowicoro, 61.

Warga Umbulharjo, Jogja ini selain ingin mendapat ketentraman, ia juga ingin mengasah keahliannya dalam membuat wayang.

Suyatiman sudah 45 tahun menjadi abdi dalem dibawah lembaga kesenian Kraton yang dipimpin GBPH Yudhonegoro. Kecintaannya pada Kraton itu kini sudah menurun pada anak cucunya. Bahkan cucunya yang berusia enam tahun, kemarin terlihat ikut sungkem pada raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Rizki Kuncoro Manik, yang masih duduk di kelas I SD Negeri Glagah Umbulharjo, nama cucu Suyatiman itu mengenakan pakaian abdi dalem lengkap dengan keris dibelakangnya. Ia bahkan berceloteh nyaman dengan pakaian yang dikenakannya.

Suyatiman mengaku cucunya sudah sering ikut acara-acara di Kraton. Saat sebelum sekolah, tutur Suyatiman, Rizki hampir tiap hari ikut ke Kraton. “Setelah sekolah pulangnya pasti pengen ikut tiap acara di Kraton,” ujar Suyatiman. Saking seringnya ikut, Rizki sempat akan diberi nama dan gelar oleh almarhum GBPH Joyokusumo sebelum wafat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya