Jogja
Rabu, 7 Agustus 2013 - 08:45 WIB

SABDATAMA : Trilogi: Mudik, Udik-Udik dan Sungkeman

Redaksi Solopos.com  /  Maya Herawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Sri Sultan Hamengku Buwono X (JIBI/Harian Jogja/Desi Suryanto)

Sri Sultan Hamengku Buwono X (JIBI/Harian Jogja/Desi Suryanto)

Syukur Alhamdulillah, dengan rahmah, maghfirah dan berkah-Nya, esok hari ketika fajar merekah di ufuk Timur kita akan memasuki 1 Syawal 1434 Hijriyah, saat Hari Kesucian tiba. Dalam tradisi kita, Ramadan, Mudik, dan Idulfitri terhubung dalam satu kesatuan mata rantai trilogi gerbong ritual-budaya, yang sering tercederai sebagai rutinitas ritual tanpa makna.

Advertisement

Buktinya, bakda Idulfitri berlalu, festival kesalehan ritual selama satu bulan penuh itu pun turut sirna. Seakan tanpa bekas, dan kita kembali pada ritme rutinitas kehidupan yang biasa lagi, business as usual.

Jembatan Nostalgia

Advertisement

Jembatan Nostalgia

Mudik telah lekat menjadi ritus budaya yang mentradisi dalam masyarakat. Semua kegiatan rutin sejenak dilupakan untuk kembali ke akar budaya, mudik ke tanah kelahiran. Fenomena mudik berkait-berkelindan dengan Idulfitri yang dalam tradisi Jawa akrab disebut Bada atau Riyaya. Maka tidak heran, jika kita sering mengidentikkan Idulfitri sebagai mudik. Pada awalnya mudik adalah momentum nostalgia pengingat potensi keilahian dalam diri kita. Tetapi kemudian, justru kita acap menanggalkannya pascaperayaan itu usai. Mudik lalu sekadar romantisasi masa lalu, dan setelah itu kembali pada hiruk-pikuk “dekadensi” kehidupan kota metropolitan.

Dari segi ritus budaya, mudik ditandai tiga hal. Pertama, jelang Ramadan sebe1um mudik, didahului tradisi ruwahan yang ditandai oleh tritunggal jajanan ketan, kolak, apem. Metafora-simbolik ketan untuk mengeratkan tali silaturrahmi, kolak agar kita senantiasa ingat kepada Sang Khalik, dan apem mengingatkan kita agar mohon ampunan untuk bertobat dari dosa. Kedua, mudik menjadi “kebutuhan primer” tahunan masyarakat urban. Ketiga, meski memiliki korelasi dengan Idulfitri yang nota bene ritual Islam, mudik juga meluas ke masyarakat non-Muslim. Kemudian, tradisi mudik menjadi semacam wahana klangenan atau “jembatan nostalgia” pengingat masa lalu. Pemudik bercengkerama kembali dengan romantisme alam pedesaan, yang aman, tenteram dan penuh kedamaian. Mereka merindukan nilai-nilai kebersamaan alamiah yang jarang ditemui di kota, karena ketatnya persaingan memburu “status”.

Advertisement

Kembali ke Fitrah

Selama sebelas bulan terbenam oleh segala macam kegiatan sehari-hari boleh jadi bisa memalingkan diri kita dari potensi keilahian. Sejak zaman azali, Alquran telah meriwayatkan adanya tawar-menawar metafisis yang mengisyaratkan, bahwa manusia menurut fitrahnya adalah beragama. Tetapi seiring perjalanan waktu, ada kalanya suara Tuhan sayup-sayup tersisihkan oleh saratnya agenda pergulatan hidup yang keras.

Oleh sebab itu, ibadah puasa Ramadan berupaya “memudikkan” fitrah manusia pada jalur awalnya yang benar ke arah sangkan-paraning dumadi. Kegagalan dalam “memudikkan” fitrah kemanusiaan ini akan menggiririg seseorang pada “salah jalan” dalam keber-agama-annya. Maka, sebagai mahkluk yang serba terbatas, manusia memilih beragama justru dalam upaya penyempurnaan diri menuju kasampurnaning agesang. Melalui Idulfitri, manusia dituntut mampu melakukan pemaknaan kembali terhadap fitrah kemanusiaannya. Jika dalam paradigma modernisme, kebermaknaan dilihat dari ukuran material dan status sosial, kebermaknaan Idulfitri diukur dari seberapa kemampuan kita dalam olah rohani, dan merajut jalinan kasih antarsesama.

Advertisement

Udik-Udik dan Sungkeman

Di sinilah mudik menemukan esensinya dengan ngabekten atau sungkeman, karena bisa melucuti segala kelelahan dan duka-cerita perjalanan mudik yang saling-silang serobot untuk menang. Dan di sini pulalah, jalan agama berhimpitan dengan budaya dan tradisi, saat ajaran agama menemukan sifatnya yang lokal yang sering disebut Islam kultural.

Mudik, juga berkaitan dengan udik-udik. Mereka yang pulang mudik berbagi rezeki dengan mereka yang berada di batas garis kemiskinan. Udik-udik, sejatinya adalah sebuah laku amal-jariyah yang telah mentradisi sejak dulu. Tradisi ini ada kohertensinya dengan teori trickle-down effects, yang secara konseptual memang ada dalil pembenarannya, tapi dalam praktik “kuenya” tak terbagi merata, dan alirannya pun tak pemah kunjung menetes ke bawah. Sungguh berbeda dengan tradisi mudik yang outcome-nya adalah udik-udik yang “menetes”, bahkan “menetas” nyata pada peningkatan kualitas hidup kerabatnya di desa.

Advertisement

Manunggaling Kawula-Gusti

Karena itu, jika ke dalam diri kita telah merasuk trilogi: puasa, mudik dan fitrah, sebagai panggilan jiwa, maka kesalehan ritual dan sosial akan berimpit dengan kesalehan publik yang membawa implikasi kultural. Bahwa pejabat pengambil kebijakan sudah bukan lagi bagi kepentingan egonya, tetapi demi kepentingan publik yang lebih luas. Bila hal ini benar-benar terwujud, terjadilah apa yang dalam tradisi Jawa disebut manunggaling kawultigusti –penyatuan pemimpin dengan rakyatnya yang sejati. Suatu tradisi otentik dalam kesadaran intuitif tanpa pretensi, karena bukan lagi pencitraan, popularitas, uang, pujian, atau tanda jasa yang dicari.

Dengan silaturrahmi saat mudik, disertai udik-udik, dan disempurnakan sungkeman, dengan balutan semangat Idulfitri, Insyaallah mudik kita menjadi komprehensif-paripurna, menuju ke tataran yang kaffah. Dan tatkala balik ke kota, terjadilah cerah batin, karena setiap hati kita akan kembali segar bersemi bagaikan embun nan fitri, menjadi sebuah inspirasi baru untuk berjuang lagi guna meningkatkan harkat diri sebagai bekal mudik setahun lagi.

“Selamat Idulfitri 1434 Hijriyah mohon maaf lahir batin. Semoga Allah SWT. senantiasa membimbing kita di jalan lurus-Nya”.

Jogja, 7 Agustus 2013
KARATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT

HAMENGKU BUWONO X

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif