SOLOPOS.COM - Pantai selatan Jawa wilayah Gunungkidul (JIBI/Harian Jogja/Kusnul Isti Qomah)

Harianjogja.com, JOGJA—Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika mengingatkan ancaman bahaya tsunami di pesisir Selatan Jawa.

Menurut instansi tersebut, mengembangkan peringatan dini (early warning system) menjadi kearifan lokal sangatlah penting.

Promosi Mi Instan Witan Sulaeman

Kepala Pusat Seismologi Teknik Geofisika Potensial BMKG Jaya Murjaya mengungkapkan dengan mengembangkan kearifan lokal itu sudah terbukti dengan sedikitnya korban meninggal di Pulau Simeulue, Nanggro Aceh Darussalam saat tsunami 2004 lalu, yakni kurang dari 15 orang.

Berbeda dengan kawasan daratan seperti Meulaboh atau Banda Aceh, korban meninggal sampai ratusan ribu.

Di Simeulue, lanjut Jaya, warga sudah tertanam secara turun temurun mengenai hikayat ketika ada gempa besar terjadi air laut surut dilarang mendekat ke bibir pantai meski banyak ikan.

“Tsunami itu disebut masyarakat sana adalah smong,” ungkap Jaya saat sosialisasi informasi kebencanaan di Hotel Grand Zuhri, pekan lalu.

Jaya mencatat, bencana 2004 bukanlah tsunami pertama di Pulau Simeulue. Sebelumnya, pulau tersebut pernah tersapu ombak pasang sekitar 1907 dan 1935.

Sejak 1962, Data Pusat Seismologi BMKG mencatat ada 110 tsunami yang mayoritas karena gempa tektonik. Berdasarkan simulasi dari perhitungan rumus, gempa yang terjadi di dangkal laut dengan kedalaman 7.000 meter dan berskala 7 Skala Richter akan menghasilkan kecepatan tsunami 900 km/jam.

Atau dengan kedalaman 100 meter tak jauh dari pantai, warga sudah sulit menghindar, karena kecepatannya 10 meter per detik. “Itu secepat pelari tercepat dunia Usain Bolt,” ujarnya.

BKMG telah menyiapkan sirine peringatan dini dan digital video broadcasting diupayakan dapat memberikan peringatan dini dan memberi langkah mitigasi bencana untuk pemerintah daerah.

“Tapi tidak cukup dengan peringatan dini semacam itu,” tandasnya.

Selain itu, ia menambahkan, penanaman pohon bakau dan mempertahankan terumbu karang dapat dilakukan pemerintah daerah untuk menahan terjangan tsunami.

Wilayah Jawa, menurut Jaya, memiliki karakter gempa berpotensi tsunami dengan magnitude yang tidak sebesar di Sumatera. Hal itu dikarenakan pertemuan lempeng (subduksi) Indo-Australia dengan Eurasia di selatan Jawa hampir tegak lurus, sementara di Sumatera miring.

Saat terjadi tabrakan lempeng, getarannya lebih halus. Namun justru robekan lempeng justru lebih panjang. Dan selama itu, getaran gempa dengan skala yang tidak besar terus berulang atau disebut dengan slow earthquake dan menghasilkan tsunami yang lebih besar dari perhitungan rumus normal. Ini pernah terjadi di Pangandaran.

“Maka itu, saya sarankan ketika tengah berada di bibir pantai dan ada gempa sebesar apapun, segera menjauh,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya