SOLOPOS.COM - Petugas berupaya mengevakuasi siswa SD Negeri Trisik di Desa Banaran, Kecamatan Galur, Kulonprogo dalam simulasi penanganan bencana gempa dan tsunami, Rabu (8/3/2017). (Rima Sekarani I.N./JIBI/Harian Jogja)

Simulasi bencana digelar di SD Negeri Trisik

Harianjogja.com, KULONPROGO– Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY mengukuhkan SD Negeri Trisik sebagai Sekolah Siaga Bencana, Rabu (8/3/2017). Seluruh warga sekolah dibekali dengan pengetahuan dan kemampuan mengenai mitigasi bencana.

Promosi Vonis Bebas Haris-Fatia di Tengah Kebebasan Sipil dan Budaya Politik yang Buruk

Jarum jam hampir menunjukkan tepat pukul 10.00 WIB ketika kegiatan belajar dan mengajar masih berlangsung seperti biasa di SD Negeri Trisik, Desa Banaran, Kecamatan Galur, Kulonprogo, Rabu (8/3/2017).

Peserta didik berusaha fokus memperhatikan materi yang disampaikan guru masing-masing. Sekolah yang hanya berjarak sekitar 500 meter dari bibir Pantai Trisik itu memang hanya mendidik 57 siswa. Jumlah siswa yang minim tersebut rupanya membuat pembelajaran cenderung lebih kondusif.

Pembelajaran mendadak terhenti akibat munculnya getaran besar yang dirasakan seluruh warga sekolah. Mereka jelas panik karena tiba-tiba terjadi gempa. Setiap guru di kelas segera menyuruh para siswa berlindung di bawah meja.

Mereka juga mengambil tas ransel yang diletakkan di kursi masing-masing untuk melindungi kepala. Meski guru berkali-kali meminta mereka tenang, beberapa anak tetap berteriak dan menangis ketakutan. “Semuanya tetap tenang, ya. Jangan panik,” ucap seorang guru.

Gempa akhirnya berhenti. Siswa langsung digiring menuju titik kumpul yang ada di halaman sekolah. Kepala SD Negeri Trisik, Purwanto meminta guru mengecek jumlah dan kondisi siswa.

Dia sedikit merasa lega ketika mengetahui hanya dua siswa yang diketahui mengalami luka ringan. Namun, jantungnya kembali terasa berdetak lebih cepat ketika wali kelas IV dan V menyampaikan jika masing-masing dari mereka tidak menemukan satu siswanya.

Purwanto meminta sejumlah guru dan karyawan melakukan penyisiran. Dua siswa itu kemudian ditemukan diantara reruntuhan kamar mandi. Seorang anak terlihat mengalami cedera serius di bagian kepala dan satu lainnya mengalami patah tulang pada kaki kanan.

Mereka lalu dievakuasi oleh beberapa anggota SAR yang datang ke sekolah dan mendapatkan pertolongan pertama bersama dua siswa lain yang mengalami luka ringan.

Berdasarkan informasi dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang disampaikan melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kulonprogo, Purwanto mengatakan kekuatan gempa yang barusan terjadi mencapai 8,2 SR.

Dia lalu menarik napas dalam-dalam sebelum mengumumkan jika gempa tersebut berpotensi tsunami sehingga mereka harus segera menyelamatkan diri.

Begitu mendengar kata ‘tsunami’, kepanikan kembali terjadi. Anak-anak terlihat bingung dan ketakutan. Guru-guru berusaha menenangkan dengan memeluk mereka sembari meyakinkan jika bantuan segera datang.

Tidak lama kemudian, para siswa dan seluruh guru dievakuasi dengan menggunakan mobil pikap ke tempat yang lebih aman, yaitu Lapangan Cubung, Lendah. Lokasi itu berjarak sekitar tiga kilometer dari sekolah.

Selang 10 menit kemudian, terdengar suara gemuruh dari arah pantai. Tsunami benar-benar datang dan berlangsung sekitar sejam. SD Negeri Trisik pun ikut tersapu gelombang tsunami. Setelah kondisi dinyatakan kembali aman, tim evakuasi terpadu menuju wilayah pesisir untuk melakukan penyisiran.

Hasilnya, tidak ada korban yang ditemukan di SD Negeri Trisik dan sekitarnya. Koordinator tim lalu menginstruksikan mereka untuk kembali ke posko bencana dan tetap memantau situasi.

Kejadian di atas hanyalah simulasi penanggulangan bencana gempa dan tsunami yang diselenggarakan BPBD DIY. Simulasi tersebut menjadi bagian dari rangkaian acara pengukuhan SD Negeri Trisik sebagai Sekolah Siaga Bencana (SSB).

“Sebelumnya sudah ada sosialisasi. Anak-anak dan bapak/ibu guru kalau menghadapi bencana pas pembelajaran harus apa. Harapannya nanti sudah lebih siap ketika bencana sesungguhnya terjadi,” kata Purwanto.

Meski hanya simulasi, peserta didik benar-benar merasa takut dan menangis. Perasaan itu salah satunya dialami siswa kelas V bernama Afida Ramadhani Nur Wahid. Dia deg-degan karena membayangkan bagaimana jika tsunami benar-benar terjadi.

Di sisi lain, simulasi diakui membuatnya lebih paham mengenai apa yang mesti dilakukan jika ada gempa dan ancaman tsunami saat ia di sekolah. “Kadang mikir juga gimana kalau ada gempa atau tsunami. Jadi khawatir kalau lagi belajar,” ujar Afida.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya