Jogja
Minggu, 20 Maret 2016 - 18:20 WIB

SISWA TERTEMBAK DI KEPALA : Ini Analisa Psikolog tentang Kasus Javellins

Redaksi Solopos.com  /  Mediani Dyah Natalia  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Rumah Leo Supirin, kakek Javellins didatangi ratusan pelayat yang melepas kepergian siswa kelas dua SMA Debritto itu, Sabtu (19/3/2016). (Abdul Hamied Razak/JIBI/Harian Jogja)

Siswa tertembak di kepala menjadi keprihatinan banyak pihak.

Harianjogja.com, JOGJA-Terkait kasus Martinus Javellins Surya Rinanza yang meninggal dengan cara tragis, Psikolog Universitas Gadjah Mada Sutarimah Ampuni mengatakan menentukan penyebab bunuh diri dari seorang remaja tidaklah mudah.

Advertisement

Ada dua sisi yang perlu dicermati, apakah mereka memang benar-benar merancanakan bunuh diri untuk mengakhiri hidup, atau diawali kebiasaan melakukan percobaan bunuh diri karena ingin mencari perhatian.

(Baca Juga : SISWA TERTEMBAK DI KEPALA : Javellins Pergi Meninggalkan Pertanyaan)

Advertisement

(Baca Juga : SISWA TERTEMBAK DI KEPALA : Javellins Pergi Meninggalkan Pertanyaan)

Sutarimah mengungkapkan, dirinya tidak sepakat mengenai adanya sejumlah dugaan yang dilabelkan kepada pelaku bunuh diri yang terlihat begitu simpel. Misalnya saja, bunuh diri karena tidak diberikan uang oleh orang tua, bunuh diri karena tuntutan akademis yang berat. Karena ia meyakini, dugaan-dugaan tadi baru sebatas trigger atau pemicu.

Namun, ada sesuatu yang laten, kondisi tidak beres yang memang sudah ada sebelumnya dan menjadi bagian dalam psikologi dan kepribadian pelaku. Pasalnya, tindakan bunuh diri adalah tindakan yang dinilai cukup ekstrem. Tidak mungkin seorang remaja bunuh diri karena satu hal yang begitu saja terjadi.

Advertisement

Psikolog yang konsern dalam Psikologi Perkembangan ini menuturkan satu per satu. Pertama, setiap remaja memiliki kemampuan berbeda-beda dalam menghadapi masalah, sekalipun masalah yang dihadapi adalah masalah yang sama. Ketika anak ini sampai melakukan bunuh diri, maka remaja ini memiliki kemampuan coping skill yang buruk.

Kedua, setiap anak umumnya memiliki teman bicara, dari teman sebaya, keluarga, tetangga atau orang lain yang dikenalnya dengan baik. Kepada mereka, remaja bisa membagi apa yang dirasakan dan dialami, sehingga mereka tidak merasa sendirian.

Pihak-pihak tadi juga mengenal sang remaja dengan sifat dan kekhasan kepribadiannya. Sehingga ketika ada sesuatu berbeda dari kesehariannya, orang sekitar masih bisa cukup peka dan kemudian mendampingi, menjadi teman berbagi.

Advertisement

Berbeda dengan remaja yang tidak memiliki support system yang baik, maka ia merasa tidak mampu dan merasa sendiri dalam menghadapi persoalan yang dimiliki. Orang sekitar juga tidak sensitif dengan perubahan-perubahan yang ia alami.

“Kita ambil contoh persoalan tuntutan akademis, tidak semua anak remaja akan bunuh diri karena tuntutan akademis. Namun kalau ada anak yang memiliki kecenderungan depresi dan kita tidak tahu, maka selanjutnya kita juga tidak tahu dengan apa yang akan dia lakukan dalam menghadapi persoalan itu,” ujarnya.

Ketiga, selama ini masyarakat masih belum banyak peduli dengan remaja yang memiliki gejala depresi. Masyarakat hanya melihatnya sebagai orang stress, aneh. Jadi, memang masyarakat masih butuh edukasi.

Advertisement

Kategori berikutnya, remaja yang bunuh diri karena mencari perhatian. Kondisi ini terlihat dari kasus yang sering kita jumpai di masyarakat, adanya remaja yang dalam kondisi berulang melakukan percobaan mengakhiri nyawa mereka, dengan beragam cara. Seperti menyayat pergelangan tangan dengan benda tajam, menenggak racun atau obat serangga lainnya.

“Tindakan ini mereka lakukan karena begitu desperate atau putus asa. Tapi sesungguhnya mereka itu tidak benar-benar ingin mati, gejala ini perlu diwaspadai karena berarti mereka tidak didengar,” terangnya.

Percobaan bunuh diri dilakukan karena, mereka belum bisa menghitung dengan cermat akibat yang bisa terjadi, apabila percobaan bunuh diri tersebut justru berpotensi sungguh-sungguh menghilangkan nyawa mereka.

Disinggung mengenai upaya pencegahan yang bisa dilakukan Sutarimah mengatakan, edukasi kesehatan jiwa di sekolah belum banyak dimiliki dan menjadi perhatian, bahkan oleh guru Bimbingan Konseling yang dimiliki sekolah. Anak perlu diajak bicara dan didengarkan, dengan begitu mereka memiliki modal dasar untuk tumbuh sehat secara mental

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif