Kayu Sonokeling masuk daftar Cites (Convention of International Trade on Endangered Species) Appendix II artinya spesies yang tidak terancam kepunahan
Harianjogja.com, JOGJA--Mulai 2 Januari 2017, kayu Sonokeling masuk daftar Cites (Convention of International Trade on Endangered Species) Appendix II artinya spesies yang tidak terancam kepunahan namun mungkin akan punah jika perdagangannya terus berlanjut tanpa pengaturan.
Promosi Uniknya Piala Asia 1964: Israel Juara lalu Didepak Keluar dari AFC
Konsekuensinya peredaran kayu dalam negeri wajib disertai dengan dokumen SATS-DN, sedangkan luar negeri harus menggunakan CITES Permit sesuai dengan mekanisme Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 447/Ktps-II/2003 tentang Tata Usaha Pengambilan dan Penangkapan atau Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar.
Pelaku industri kreatif (Radio Magno dan Spedagi), Singgih Susilo Kartono mengkritisi kebijakan ini. Menurutnya pemerintah harus berlaku adil dan membuat regulasi yang substantif. Masalahnya pelaku industri kecil sepertinya terbebani dengan harga kayu Sonokeling yang melonjak sejak dimasukkan dalam daftar Apendix II CITES.
“Pemerintah harusnya memberi perhatian pada industri besar dengan produksi yang masif, tapi saya setuju Sonokeling perlu dilindungi karena masa tumbuhnya lama 50 tahun,” kata dia pada Kamis (30/3/2017).
Sekretaris Sekjend II HIMKI DIY, Susilo mengatakan HIMKI mendukung Sonokeling masuk dalam daftar CITES karena kini kayu tersebut sudah mulai langka. Apalagi beberapa tahun terakhir ini pohon Sonokeling yang layak tebang susah ditemui karena eksploitasi besar besaran di wilayah Gunung Kidul.
Menurut Susilo, CITES untuk kayu Sonokeling diterapkan pada bulan Juli 2017 sehingga setelah bulan Juli semua anggota HIMKI DIY dan di seluruh Indonesia jika mau menggunakan kayu Sonokeling harus mempunyai Surat Keterangan Ijin Edar yang dikeluarkan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Pusat di Jakarta.
“Pengurusan surat ijin tersebut tidak terlalu mahal, untuk tujuan ekspor sekitar 12 jutaan berlaku lima tahun,” ucap dia.
Beberapa waktu yang lalu Kabid Perdagangan Luar Negeri Disperindag DIY, Rahayu Sri Lestari mengatakan 2016 memang nilai ekspor mebel menurun dari tahun lalu. Hal tersebut disebabkan karena beberapa peraturan sertifikasi yang harus dipenuhi oleh para pelaku industri seperti SVLK dan CITES.
“Tapi di era liberalisasi ekonomi dan perdagangan seperti saat ini pengusaha ya harus mau mengikuti peraturan yang berlaku,” tutur dia.