SOLOPOS.COM - Setyo Aji dan koleksi layang-layangnya (JIBI/Harian Jogja/Tri Wahyu Utami)

Setyo Aji dan koleksi layang-layangnya (JIBI/Harian Jogja/Tri Wahyu Utami)

Dari layang-layang, Raden Setyo Aji belajar tentang kehidupan. Sebab, layang-layang sarat unsur budaya, pendidikan sampai olah pikir. Baginya, kunci layang-layang tetap eksis adalah kreativitas tak terbatas.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Bagi Setyo, manusia harus memiliki daya kreativitas tak terhingga agar tetap bertahan hidup. Setyo mengibaratkan orang membuat layang-layang tak jauh berbeda dengan melukis, sama juga dengan kita menjalani kehidupan. Saat yang tepat menuangkan ide-ide yang terpendam. “Sama ketika kita berkarya, dari dalam lubuk hati yang paling dalam,” katanya.

Berprofesi sebagai kreator layang-layang tak pernah terbayang dalam benak Setyo, kelahiran Jakarta 1963 ini. Ia gemar menggambar, setelah tamat sekolah menengah atas, ia pulang ke kampung halaman orangtuanya, Jogja. Hobi menggambar itu kemudian diekspresikan dalam lembaran kertas yang kemudian dirangkai menjadi layang-layang.

Saat itu main layang-layang hanya jadi ajang refreshing, tapi pada kenyataannya ia larut dalam aktivitasnya. Karena menyukai dunia gambar, pada 1983, Setyo mendaftar di Jurusan Seni Rupa Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Jogja [sekarang ISI]. Sambil menuntut ilmu, ia terus memainkan layangan. Tapi tak berlangsung lama.

Ia lantas ke Semarang menjajal ilmu pendidikan di Akademi Maritim Indonesia Semarang pada 1985, yang berlangsung hanya setahun saja, kemudian bekerja di kapal pesiar.

Keseharian di tengah laut membuatnya sadar bahwa angin bertiup, laut bergelombang. Demikian pula hidup, tergantung pada angin dan pasang surut. “Saya terus ingat, layang-layang juga memiliki filosofi yang sama, sehingga begitu di daratan saya coba fokus pada layang-layang,” ujarnya.

Lebih dari pada itu, layang-layang adalah bagian dari budaya yang diwariskan nenek moyang. Pada saat panen raya tiba, biasanya layang-layang dinaikkan dengan bunyi-bunyian sigaret. Anak-anak gembira. Sayang, lahan di negara ini kian menipis, tidak ada lagi tempat bermain layangan secara bebas dan luas. Akibatnya, anak-anak lebih tekun main game di handphone atau komputer.

Padahal, lanjut Setyo, layang-layang memiliki makna yang sangat mendalam. Selain ada gerak fisik, layangan mengandung unsur pendidikan yakni bagaimana mewujudkan cita-cita dari bawah hingga ke atas, bagaimana membuat layang-layang tenang dan berkibar sesampainya di langit.

Layang-layang sesungguhnya bisa mengasah gagasan dan ide, dimana seseorang terus berkreasi pada gambar, bentuk dan ukuran layang-layang. “Sulit bagi mereka yang tidak pernah komunikasi dengan layangan. Mudah kok membuatnya, unsurnya senang dulu, pasti bisa. Seperti sekolah, masuk play grup, SD, sampai universitas, biasanya orang belum dasar sudah ingin naik kelas 5, mereka yang belajar tidak bisa menerbangkan, putus asa sehingga tidak senang dengan layangan.”

Perjalanan Layang-layang

Atas keprihatinan itulah, Setyo keliling menyosialisasikan layang-layang pada masyarakat dari sabang sampai merauke. Ia mendengungkan bahwa layangan tak hanya bentuk ekspresi tapi bernilai ekonomis, bisa dijual, mempengaruhi pariwisata suatu daerah. “Respon masyarakat bagus, tapi pemerintah setempat sepertinya kurang peduli,” ujar lelaki yang pernah menjual layang-layangnya seharga Rp40 juta ini.

Selama itu, perjalanan Setyo berliku-liku, hingga tidak pulang selama berbulan-bulan. Ia bersama beberapa teman berusaha menjaring para pekarya layang-layang di daerah pesisir. Ia berulangkali membawa nama baik Indonesia dalam ajang festival layang-layang tingkat internasional di lingkup negara-negara se-Asia.

Karena ketangkasan dalam dunia layang-layang, karya Setyo berhasil mendapat penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai layang-layang terbesar, berbentuk kotak rokok bermerek terkenal, berukuran 76,9 x 11,5 meter dengan rangka bambu.

Layang-layang seberat 75 kilogram yang diproduksi pada 2007 itu berhasil diterbangkan di 15 kota. “Saya tidak sendiri, ada tim yang membantu karena layang-layang itu harus bongkar pasang dan sangat berat,” kisahnya.

Uniknya lagi, karya tim yang dipelopori Setyo juga memperoleh penghargaan MURI sebagai layang-layang terkecil pada 2004. Layang-layang berukuran 1x2cm itu dibuat dari tissue jepang dengan rangka ijuk. Layang-layang yang sangat rumit dalam hal pengerjaannya ini berhasil diterbangkan dengan tenaga kipas angin di dalam ruangan.

Pada 2008, Setyo membentuk Asosiasi Layang-layang Indonesia (ALI). Melalui wadah ini, ia tak berhenti melakukan pendekatan pada masyarakat khususnya pekarya layang-layang pesisir supaya terus berjuang.

Begitu para pekarya layang-layang di seluruh Indonesia terjaring, Setyo bersama teman-teman menggelar kongres Perkumpulan Pekarya dan Pemerhati Edukasi Layang-layang Indonesia yang berlangsung 22-24 Juni 2012 di Kulonprogo.

Lewat perkumpulan pekarya layang-layang ini, Setyo berharap, eksistensi layang-layang tak pernah padam. Dalam konggres yang diikuti 25 kabupaten seluruh Tanah Air itu, juga melibatkan 500 anak. Mereka diajarkan membuat sampai menerbangkan layang-layang. Bagi Setyo, anak-anak adalah penerus bangsa, penerus layang-layang.

“Konggres ini baru pertama dilakukan di Indonesia, dengan ini semoga kami para pekarya dilindungi, diberi ruang dan kesempatan agar tetap eksis,” tutup Setyo penuh harap.

BIODATA

Nama: Raden Setyo Aji

Lahir: Jakarta, 10 Juli 1963

Istri: Dewi Sulistyoningsih



Anak: Salma, Akbar, Galang

Alamat: Jalan Hastina GK I Nomor 189, Demangan, Gondokusuman, Jogja

Pendidikan:

Pernah mengenyam pendidikan di jurusan Senirupa ASRI Jogja (1983)

Pernah menempuh pendidikan di Akademi Maritim Indonesia Semarang (1985)

Pengalaman:

Ketua Asosiasi Layang-layang Indonesia (2008-sekarang)

Penggagas Perkumpulan Pekarya dan Pemerhati Edukasi Layang-layang Indonesia

Perwakilan Perkumpulan Pekarya dan Pemerhati Edukasi Layang-layang Indonesia Cabang Jogja (Juni 2012-sekarang)

Meraih penghargaan karya terbaik di berbagai festival laying-layang dalam dan luar negeri

Meraih rekor MURI sebagai pekarya layang-layang terkecil dan terbesar (2004 dan 2007)

Motto:

Dari Jogja menuju kreasi antar bangsa

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya