SOLOPOS.COM - Suprapti (JIBI/Harian Jogja/Tri Wahyu Utami)

Suprapti (JIBI/Harian Jogja/Tri Wahyu Utami)

Sempat dicibir dan dianggap tak waras, Suprapti tetap tekun pada pertanian nonkimia. Kini, ia mewujudkan kemerdekaan petani dengan cara serba alami. 

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Suprapti, yang akrab disapa Prapti, menerima Harian Jogja di rumahnya, Dusun Bleder, Desa Sidoharjo, Samigaluh, Kulonprogo saat cuaca panas akhir pekan lalu. Rumahnya sederhana, ruang tamunya dihias beberapa utas padi yang ditempelkan di dinding lengkap dengan keterangan nama varietasnya. Ada raja lele, menthik wangi, pandan wangi, beras merah, beras hitam dan banyak lagi.

Koleksi itu diperolehnya dengan berburu sendiri maupun kiriman petani dari daerah lain. Padi itu kemudian dikembangbiakkan, menjadi varietas lokal baru. Tak hanya mengumpulkan benih, Prapti juga membiakkan predator hama tanaman di samping rumahnya.

Belum lama mengobrol, seorang lelaki, tetangga Prapti datang membeli benih beras hitam dan beras merah. Benih itu untuk ditanam di sawahnya. “Saya menjual benih sekilo Rp5.000, kalau beras bervariasi, mulai dari Rp9.000 sampai Rp11.000. Entah harga di pasaran naik atau turun, saya jual dengan harga itu,” kata Prapti, perempuan berusia 46 tahun ini.

Bertahun-tahun sebelumnya, Prapti dicibir, dikucilkan bahkan dianggap gila saat memulai bertanam secara alami di tanah milik mertuanya seluas 1.000 meter persegi. Ia menggendong pupuk kandang dari rumah ke sawah yang jaraknya sekitar 1 km, mengairi sawahnya dari sumber mata air.

Ternyata dari 5 kg benih, Prapti berhasil memanen 350 kuintal gabah. Padahal sawah tidak sepenuhnya ditanami padi, sebagian untuk sayur dan kolam kecil. “Panen sejumlah itu memang lebih sedikit dibanding dengan memakai pupuk kimia. Tapi saya kan tidak mengeluarkan uang beli pupuk dan pestisida, saya juga bisa makan sayur dan pisang setiap hari,” katanya.

Keberanian dan kemampuan Prapti mengolah sawah secara alami, tidak serta merta didapatkan secara otodidak. Sejak remaja, ibu satu putri ini gemar berorganisasi. Lulus dari fakultas pendidikan IPS Universitas PGRI Yogyakarta tahun 1991, ia sempat mengajar di sebuah sekolah di Bantul. Karena ia tidak tahan bekerja dalam ruangan, ia memutuskan keluar.

Setelah menikah dengan Purwohadi pada 1995, Prapti tak ingin mati berkarya meski tinggal di pegunungan jauh dari perkotaan. Ia aktif dalam kegiatan LSM Lestari Mandiri Boyolali yang bergerak dalam bidang pertanian organik. Prapti juga ikut dalam Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Kulonprogo. Untuk itu, ia banyak mengikuti studi banding ke berbagai daerah hingga Manado.

Pada 2006, barulah ia menanam padi menggunakan pupuk kandang dan pestisida berbahan alam. “Saya lebih senang dikatakan pertanian alami, karena kalau organik itu kaitannya dengan label,” ujarya.

Prapti meneladani tanpa banyak bicara. Toh ia bisa membuktikan panen padi yang lebih montok dan tahan lama setelah dimasak. Tak disangka, tetangganya ikut-ikutan mengguakan pupuk kandang. Beberapa warga datang membeli benih ke rumah Prapti. 

Sumber Air

Atas kesepakatan petani di kampungnya, dibentuklah Kelompok Wanita Tani (KWT) Nusa Indah, diketuai Prapti. Rumahnya tak pernah sepi dari tamu, termasuk mahasiswa dan dinas datang untuk berguru.

Para tamu, seperti tertulis di buku tamu, berasal dari berbagai kalangan dan penjuru wilayah Indonesia, mulai dari Jawa hingga Sulawesi, Aceh, bahkan Timor Timur.  Prapti kerap didaulat berbicara di berbagai kelompok tani dalam bahkan luar kota secara suka rela. “Ilmu itu harus dibagi, dengan berbagi, ilmu kita semakin kaya,” katanya.

Menurut Prapti, pertanian tak lepas dari air. Maka air harus dijaga kualitas dan kuantitasnya. Untuk itu, Prapti tak lelah sosialisasi pemeliharaan dan penanaman pohon menyerap air seperti beringin, aren dan gayam. “Orang bilang tanaman itu rumah wewe [hantu], saya tekankan pada manfaatnya bukan kepercayaan pada mitosnya,” kata Prapti.

Konservasi hutan semacam ini sangat penting, mengingat masih ada warga kekurangan air meski tinggal di pegunugan. Pohon-pohon di sekitar rumah harus dirawat, dipupuk secara alami.

Hasilnya, kakao di sekeliling rumah Prapti, berbuah sepanjang masa. Pohon cengkeh hijau dan buahnya bergerombol. Bercocok tanam secara alami yang dipadukan dengan peternakan ini sangat menguntungkan secara ekonomi sekaligus menekan tingkat erosi yang sering terjadi di perbukitan Progo. 

Perpustakaan

Begitu ekonomi mulai meningkat, kesejahteraan dan kesehatan pun harus ditingkatkan. Melalui KWT Nusa Indah, Prapti mengajak anggota kelompok mendirikan bank kompos. Setiap tiga bulan sekali, anggota ini menabung pupuk kandang sebanyak 25 kg.

Kompos yang terkumpul diolah bersama. Hasilnya sebagian besar digunakan untuk memupuk lahan yang dikelola kelompok, sisanya dijual sehingga ada penghasilan tambahan.

Tak berhenti di sawah dan lahan pekarangan, bersama KWT Nusa Indah, Suprapti merambah urusan dapur. Mereka mengubah cara memasak dengan menggunakan tungku hemat energi. Teknologi tungku sederhana itu dipelajarinya dari Lembaga Swadaya Masyarakat Dian Desa di Jalan Kaliurang.

Tungku ini adalah salah satu strategi mengurangi dampak gas elpiji yang baginya tidak cocok diterapkan di pedesaan yang terdapat limpahan kayu bakar. Tungku dilengkapi cerobong asap sehingga asap pembakaran langsung keluar ke pekarangan yang dipenuhi pepohonan, tidak mengakibatkan panci hitam karena api tidak menjilat-jilat.

“Petani biasa dianggap rendah, tapi bagi saya kalau dinikmati kita peroleh segalanya termasuk kemerdekaan bertani,” tuturnya.

Beranjak dari urusan dapur, Prapti memelopori pendirian perpustakaan Pondok Baca Kring Sulur yang melingkupi tiga padukuhan. Perpustakaan dilengkapi buku-buku bacaan kecuali komik dan novel cinta-cintaan, buka setiap hari minggu dikelola sendiri oleh Prapti. “Siapa yang mau ngelola, wong sambatan [tidak dibayar],”  ujarnya tertawa.



Di balik hiruk pikuk kesibukan Suprapti termasuk mendampingi kegiatan ekstra kulikuler pertanian organik di Madrasah Tsanawiyah Negeri Sidoharjo, ia adalah ibu rumah tangga yang ingin memberikan yang terbaik bagi suami dan putrinya, Riana. Sepenting apapun acara yang harus dihadirinya, jika Riana sedang ujian, Suprapti tetap tinggal di rumah.

BIODATA

Nama: Suprapti

Lahir: Sleman, 12 November 1966

Suami: Purwohadi (48)

Anak: Riana Dewi Purwandari (17)

Alamat: Bleder, Sidoharjo, Samigaluh, Kulonprogo

Pedidikan: FP IPS Jurusan Sejarah Universitas PGRI Yogyakarta (1991)

Pengalaman:

Ketua Kelompok Wanita Tai Nusa Indah

Pedamping ekstra kulikuler pertanian alami di Mts N Sidoharjo (2008-sekarang)

Pendiri dan pengelola perpustakaan Pondok Baca Kring Sulur (2007-sekarang)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya