Jogja
Rabu, 13 Februari 2013 - 08:51 WIB

TAJUK: Jika Tak Profesional, Amatir Saja

Redaksi Solopos.com  /  Esdras Ginting  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi/dok

Ilustrasi/dok

Wajah sepak bola nasional sepertinya sulit lepas dari belenggu persoalan. Belum lagi konflik PSSI dan KPSI rampung, kedua kubu kini mulai menggulirkan roda kompetisinya masing-masing.

Advertisement

Hebatnya lagi, baik PSSI maupun KPSI selalu meng-klaim klub peserta liga masing-masing sebagai klub profesional. Artinya, klub secara finansial mampu membiayai kompetisi hingga akhir. Bukan itu saja, sesuai Peraturan Mendagri No.1/2011, klub profesional dilarang menggunakan dana APBD lagi.

Syarat ini mau tidak mau membuat semua klub sepakbola termasuk tiga klub di DIY, PSIM, PSS dan Persiba harus peras keringat mencari sumber dana demi keberlangsungan hidup klub.

Segala cara pun dilakukan. Salah satunya melobi pengusaha agar mau menjadi sponsor klub. Namun tentu saja tidak semudah yang dibayangkan. Secara core bussines, tentu perusahaan akan berpikir berkali kali sebelum berinvestasi di klub sepakbola dalam negeri.
Alasannya tentu sangat sederhana. Apa keuntungan yang didapat perusahaan atau pengusaha jika berinvestasi ke klub sepakbola? Feed back  inilah yang sejatinya menjadi pekerjaan rumah bagi klub dan PSSI selaku penangungjawab kompetisi nasional jika ingin profesional.

Advertisement

Kembali ke persoalan dana klub. Manajemen klub sepak bola di DIY sebenarnya sudah melakukan berbagai cara demi mendapat sponsor. Sayangnya cara ini tidak serta merta menuai simpati pengusaha. Sebaliknya tak sedikit pengusaha mengeluh karena seolah dipaksa menjadi donatur klub. Salah satu modusnya memasukkan anggaran untuk klub sepak bola pada program Coorporate Social Responsibilty (CSR).

Tentu saja ini sulit diterima akal sehat. Pasalnya CSR semestinya digunakan untuk program sosial kemasyarakatan sebagai wujud bakti perusahaan kepada masyarakat. Namun banyak juga yang dengan sukarela menyumbang dengan alasan takut bakal menemui kesulitan jika berurusan dengan birokrasi.

Dari fakta ini, pertanyaan lama kemudian muncul. Lantas kapan klub sepak bola akan benar benar profesional? Kapan klub sepak bola tidak lagi berkutat dengan permasalahan tunggakan gaji pemain dan kekurangan dana?. Jika masih sama saja, mungkin tidak harus malu jika klub klub di DIY harus turun kasta menadi klub amatir.

Advertisement

Inilah tugas berat manajemen klub. Tugas berat masyarakat sepak bola di DIY untuk ikut memikirkan jalan keluar bagi kesulitan dana klub sepakbola di DIY. Tentu saja tidak dengan cara-cara yang profesional, saling menguntungkan dan elegan.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif