SOLOPOS.COM - Para pemulung mengumpulkan sampah yang belum dipilah di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan, Bantul. (JIBI/HarianJogja/Gigih M. Hanafi)

Pengolahan sampah sejatinya bisa mengurangi volume sampah di TPST.

Harianjogja.com, JOGJA–Lebih dari 600 ton sampah setiap hari dibuang ke Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan, Bantul. DIY dinilai belum mampu mengolah dan memanfaatkan sampah yang diproduksi setiap hari.

Promosi Bukan Mission Impossible, Garuda!

Produksi sampah Kota Jogja, Sleman, Bantul setiap tahunnya selalu meningkat. Akibatnya TPST Piyungan harus menanggung beban yang berat. Semestinya sampah yang dibuang ke tempat itu hanya residu, tapi nyatanya sisa makanan, plastik dan sebagainya rutin didistribusikan. Pemerintah tingkat dua dinilai belum mampu mengolah sampah jadi sesuatu yang bermanfaat.

Kepala Balai Pisamp, DPUP-ESDM DIY Kus Pramono menyebut, beban yang ditanggung TPA Piyungan sudah sangat berat. Sebab, idealnya dengan kondisi saat ini tempat itu seharusnya hanya menerima kiriman sampah sebanyak 400 ton/hari, yang merupakan kumpulan residu dan sampah yang masih bisa diolah. “Semestinya kabupaten dan kota mengurangi pasokan sampah dengan pengolahan yang tepat,” ucapnya Selasa (13/2/2018).

Pengolahan sampah, ucapnya, penting dilakukan karena seharusnya TPA Piyungan hanya menerima residu, bukan sampah organik dan nonorganik yang masih bisa diolah. Namun, nyatanya sampah yang dibuang di TPA Piyungan didominasi sisa makanan, sayuran, buah dan lain-lain (organik) yakni 56,7%. Sampah nonorganik sendiri tercatat sebanyak 43,8%. Bahkan, pada 2019 nanti diperkirakan TPA seluas 10 hektare itu sudah tak mampu lagi menampung volume sampah yang kian hari makin bertambah banyak.

Sampah di TPA Piyungan tidak diolah menjadi energi, barang kerajinan atau semacamnya. Otomatis yang organik akan membusuk dengan sendirinya, adapun yang nonorganik akan dipungut oleh para pemulung. Kus mengungkapkan keberadaan pemulung cukup membantu mengurangi volume sampah.

Menurutnya, di kabupaten dan kota sudah ada bank sampah dan tempat pengolahan sampah terpadu (TPSP), tapi belum bisa optimal karena kapasitasnya belum cukup untuk mengolah sampah yang dihasilkan para manusia.

“Kalau kabupaten dan kota mengoptimalkan pengolahan sampah dan yang dibuang ke Piyungan hanya residu, volumenya tak akan begitu. Sekarang bebannya sudah terlalu berat. [Belum optimalnya pengolahan] terbukti dari adanya peningkatan sampah yang dibuang setiap tahun secara signifikan,” ujar Kus.

Jito, salah satu staf Badan Lingkungan Hidup DIY mengatakan, produksi sampah memang selalu bertambah seiring dengan pertumbuhan penduduk. Persoalan sampah dinilai tidak hanya cukup dengan menyediakan TPA baru, tapi yang terpenting adalah kesadaran mengolah sampah, karena 90% diantaranya memiliki nilai ekonomi.

Ia mengakui pengolahan sampah oleh masyarakat dan pemerintah tingkat dua masih belum optimal, karena itu harus terus didorong agar semakin maksimal. “Kami juga sering menyampaikan, kalau tidak diolah, nanti TPA-nya penuh, terus nanti buang sampah di mana?”

Jitu mengutarakan, untuk menyelesaikan permasalahan sampah perlu sinergi antara Pemerintah Pusat, provinsi, pemerintah kabupaten/kota dan masyarakat. “Pemerintah bisa membangun PTSP, tapi kalau masyarakat enggak mau menjalankan enggak akan berguna juga,” tutupnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya