SOLOPOS.COM - Taman Kuliner Condong Catur hampir setiap hari selalu lengang (JIBI/Harian Jogja/Garth Antaqona)

Taman Kuliner Condong Catur hampir setiap hari selalu lengang (JIBI/Harian Jogja/Garth Antaqona)

Jam menunjukkan pukul 10.30 WIB saat Harian Jogja sampai di Taman Kuliner Condong Catur, Sleman. Suasana masih sepi. Kondisi tak berubah sampai pukul 12.30 WIB. Waktu yang sudah masuk jam makan siang ternyata tak membuat pusat belanja makanan itu menjadi ramai.

Promosi Piala Dunia 2026 dan Memori Indah Hindia Belanda

Pengunjung Taman Kuliner Condong Catur bisa dihitung dengan jari. Hanya beberapa warung yang beruntung pada hari itu, mendapatkan pembeli. Penjual yang dagangannya belum mendapatkan rezeki pembeli memilih untuk duduk-duduk di depan kios.

Pengembangan Taman Kuliner Condong Catur, Sleman untuk menjadi pusatnya kuliner daerah DIY utara nampaknya jauh dari harapan. Banyak pedagang yang mengeluh sepinya pembeli.

“Di tempat ini, semua pedagang sudah pada bangkrut, banyak kios yang tutup. Yang tersisa hanyalah pedagang yang setia menunggu keberuntungan di tempat yang semakin tidak jelas ini,” ungkap Melani, pedagang makanan penyetan kepada Harian Jogja, Selasa (29/5) di Taman Kuliner Condong Catur, Sleman.

Melani merupakan salah satu pedagang kaki lima (PKL) di Selokan Mataram, tepatnya di dekat kampus UGM yang diminta pindah oleh pemerintah daerah. Pada 2009, dia memilih membuka usaha di Taman Kuliner Condong Catur. Kendati telah direlokasi ke tempat yang jauh lebih baik dan memadai, ia justru mengalami cobaan yang jauh lebih berat.

Omzet di Taman Kuliner tak sesuai harapan. Dalam sehari, rata-rata dia hanya mendapatkan pemasukan Rp30.000 dari tiga pengunjung yang memesan es jus, serta nasi penyet. Melani mengaku kecewa dengan kondisi yang tak kunjung berubah. Kios yang dibuka dari pukul 08.00 WIB-22.00 WIB, baik hari biasa maupun libur, tetap saja sepi.

“Dulu, ketika masih menjadi PKL di Selokan Mataram omzet saya minimal Rp500.000 per hari. Sedangkan saat ini, Rp30.000 saja sudah bagus. Terkadang malah merugi karena tidak ada pengunjung,” keluhnya.

Melani mengaku menyesal dulu mengikuti dan mendukung kebijakan pemerintah direlokasi ke Taman Wisata Condong Catur dengan iming – iming peningkatan kesejahteraan. Namun, kondisi yang ia dapatkan justru sangat jauh dari harapan dan sangat memprihatinkan. Kini, ia harus berjuang mati–matian agar dapat bertahan, sampai mengutang di berbagai pihak hanya untuk bertahan di tempat tersebut.

“Relokasi ke tempat ini saya anggap gagal. Tempat sepi, tidak ada untung,” tambahnya.

Selain Melani, pedagang lainnya juga merasakan hal serupa. Investasi mereka berupa makanan setiap harinya lebih banyak membusuk karena tidak laku. Banyak pula pedagang yang harus menunggak kontrak kios akibat tidak ada pemasukan untuk membayar. Bahkan di antara mereka ada yang sampai gulung tikar.

Supiyani, pedagang nasi goreng dan nasi rames yang baru berjualan lima bulan di Taman Kuliner Condong Catur juga mengungkapkan keluhan yang sama. Sebagai pedagang baru, ia hanya memperoleh pendapatan Rp70.000 per hari.

“Padahal saya harus menyisihkan uang sewa sebesar Rp500.000 per bulan. Dengan kondisi sepi seperti ini, jangan berharap untung,” kata Supiyani.

Pada awal menempati kios, Supiyani harus mengeluarkan modal Rp2 juta sebagai uang tanda jadi. Kini untuk mengembalikan modal tersebut, ia harus berani mempertahankan dagangannya pada kondisi apa pun. “Laku tidak laku, yang penting buka terus. Mencari pelanggan memang susah, tetapi mempertahankan apa yang sudah ada juga tidak mudah,” ujarnya.

Ketua Paguyuban Pedagang Taman Kuliner Purwanto mengungkapkan setiap tahun jumlah pedagang di Taman Kuliner Condong Catur selalu berkurang. Pada 2008 terdapat sekitar 100 pedagang yang menempati kios. Sementara pada 2012, pedagang berkurang drastis. Dalam itungan Purwanto, sebanyak 90% pedagang lama hengkang dan memilih untuk keluar dari Taman Kuliner Condong Catur.

“Banyak pedagang yang kabur karena suasana Taman Kuliner Condong Catur yang kian sepi pengunjung,” ungkap Purwanto.

Purwanto mengaku pedagang yang bertahan semakin geram dengan ulah pengelola yang dipegang UPT Dinas Pasar Sleman yang dinilai jarang memberdayakan pedagang pada setiap event yang berlangsung di Taman Kuliner. Seringkali, event yang digelar disponsori produsen makanan.

“Mereka malah jualan makanan di Taman Kuliner. Ya, kami jadi nggak kebagian rezeki. Pedagang merasa dilecehkan atas kehadiran sponsor event yang bertemakan makanan, karena menjajakan makanan di tempat tersebut. Apalagi, pengelola juga memperbolehkan pedagang luar untuk berjualan ketika ada event,” jelasnya.

Seharusnya, menurut Purwanto, pengelola dapat memberdayakan pedagang, terutama mendongkrak penjualan pedagang yang sudah sepi setiap harinya. Selain itu, Purwanto juga melihat jika pengelola sangat lesu dalam mempromosikan Taman Kuliner. Hal ini terlihat dari bentuk spot yang tidak ada perubahan, terutama penerangan. Terlebih, kondisi pintu masuk Taman Kuliner tulisan sudah nampak usang sehingga membuat pengunjung ragu untuk masuk.

“Pengelola harus bisa menggeliatkan lagi pedagang disini untuk berjualan. Dapat dimulai dari suasana spot yang dibuat lebih menarik lagi,” tandasnya.

Makanan Harus Enak
Kepala UPT Taman Kuliner Condong Catur Rahmat Suryono mengungkapkan kualitas makanan pedagang harus ditingkatkan mutunya jika ingin banyak pengunjung yang datang. Dari pengalamannya, ia pernah kecewa dengan pedagang ketika mempercayakan pengadaan makanan dalam sebuah event.

“Kami sudah pernah percayakan mereka, tetapi makanannya basi, kami jadi malu,” ungkap Rahmat Suryono kepada Harian Jogja.

Sebagai gantinya, UPT kini lebih memberikan peluang kepada pihak yang ingin meramaikan event dalam status sponsor. Meskipun terbuka, ia juga tetap selektif dalam memberikan kesempatan kepada pihak ketiga yang menangani makanan.

Dengan adanya event ini, ia berharap dapat memperkenalkan taman kuliner kepada masyarakat luas. Menurutnya, event adalah salah satu sarana promosi yang dapat dilakukan pengelola secara efektif dan hemat biaya.



Seiring dengan upaya tersebut, ia berharap kepada seluruh pedagang untuk bersama – sama mendukung dengan mempersatukan kembali komitmen dalam menjaga dan mengembangkan kualitas dari makanan.

Sejauh ini, menurut dosen Fakultas Ekonomi UAJY Susilo Pemerintah Sleman terlihat kurang konsisten memperbaiki kondisi relokasi pedagang di Taman Kuliner Condong Catur. Seharusnya pemerintah dapat menjadikan relokasi sebagai upaya memperbaiki pedagang, bukan hanya dalam tempo dini tetapi dalam jangka panjang.

“Pemerintah harus dapat melihat relokasi sebagai hal yang prioritas. Kalau sudah sepi seperti ini, banyak pihak yang dirugikan, termasuk nama baik Kabupaten Sleman juga dipertaruhkan,” tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya