Jogja
Jumat, 13 Januari 2017 - 23:20 WIB

TAMBANG PASIR MERAPI : Heroik, Begini Cerita Bu Kades Menyita Kunci Backhoe

Redaksi Solopos.com  /  Mediani Dyah Natalia  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Suyatmi saat menunjukan barang bukti kunci backhoe yang ia sita dari penambang di kantor Pemdes Umbulharjo, senin (9/1/2017). (Abdul Hamied Razak/JIBI/Harian Jogja)

Tambang Pasir Merapi coba dihentikan oleh tokoh setempat.

Harianjogja.com, SLEMAN — Sosok Suyatmi mendadak tenar. Ibu Kades Umbulharjo, Cangkringan itu cukup bernyali melabrak dan menyita kunci alat berat di lokasi penambangan pasir illegal di wilayahnya. Dukungan atas sikapnya itupun terus mengalir.

Advertisement

Masalah penambangan pasir liar di wilayah Cangkringan, apalagi menggunakan alat berat seperti tak pernah pupus. Kasus tersebut sekian lama terjadi, muncul tenggelam tanpa ada ketegasan dari pihak manapun. Dimuat di media, sesekali pemerintah melakukan razia, selesai. Setelah itu, aksi penambangan pasir illegal kembali marak. Pun dilakukan dengan alat berat.

Kegelisahan itu juga yang dialami Suyatmi. Bertahun-tahun dia hanya bisa mengelus dada saat melihat peristiwa di sekitarnya. Keasrian alam lereng Merapi mudah saja dirusak oleh orang-orang yang hanya mengejar kepentingan sesaat. Para pemburu material dari erupsi Merapi itu hanya memikirkan keuntungan saja. Tak jarang, kata Suyatmi, mereka mengeksploitasi alam berkedok atas nama warga.

Advertisement

Kegelisahan itu juga yang dialami Suyatmi. Bertahun-tahun dia hanya bisa mengelus dada saat melihat peristiwa di sekitarnya. Keasrian alam lereng Merapi mudah saja dirusak oleh orang-orang yang hanya mengejar kepentingan sesaat. Para pemburu material dari erupsi Merapi itu hanya memikirkan keuntungan saja. Tak jarang, kata Suyatmi, mereka mengeksploitasi alam berkedok atas nama warga.

“Tapi nyatanya tak mengantongi izin. Warga hanya dijadikan tameng untuk melegalkan aktivitas penambangan itu,” celetuk Suyatmi di kantornya, Senin (9/1/2017).

Di ruang kerjanya yang cukup sederhana, Suyatmi sesekali melayani warga yang datang untuk minta tanda tangannya. Sejatinya, Suyatmi tidak berhasrat menjadi Kades. Dia tidak memiliki channel (jaringan). Menjadi ketua ibu-ibu PKK di dusunnya saja, itu karena ditunjuk langsung oleh ibu-ibu. Termasuk saat ia ditunjuk menjadi pengelola PAUD di Dusun Gembretan sejak 2008 hingga 2015 lalu.

Advertisement

Jangan disangka Suyatmi lulusan perguruan tinggi atau universitas ternama. Suyatmi tidak punya gelar sarjana, apalagi yang konsen terhadap lingkungan. Dia hanya lulusan SMA di sebuah pegunungan legendaris Merapi. Tetapi, kecintaannya terhadap alam, di tanah kelahirannya itu bisa melebihi para sarjana lingkungan. Itu dibuktikan olehnya saat diberi amanah oleh warga untuk menduduki kursi Kades sejak September 2015.

“Awalnya saya diam melihat penambangan itu, karena saya tidak tahu harus mengadu kemana? Ke siapa? Saya nekat saja menyita kunci backhoe itu kerena sudah berkali-kali diingatkan tetapi tidak digubris,” cerita dia.

Baginya, antara alam dan manusia harus seimbang. Kelestarian alam tidak boleh dirusak karena akan berdampak pada manusia. Prinsip itulah yang mendorong Suyatmi bertindak tegas kepada penambang pasir, perusak alam itu. Dia mengaku tidak takut, tidak kapok demi melindungi daerah kekuasannya dari tangan-tangan jahil.

Advertisement

“Seperti para penambang itu, mereka menyepelekan saya karena saya perempuan. Tapi saya tegaskan kepada mereka, tolong lihat kebijakan saya,” ujar perempuan kelahiran 1970 itu.

Di balik ketegasannya itu, sebenarnya ia peduli kepada warganya. Tindakan nekat ia menghentikan aktivitas penambangan di wilayah Plosokerep dan Gondang bukan melulu masalah kerusakan lingkungan. Suyatmi rupanya tidak ingin ada warga umbulharjo yang berurusan dengan hukum.

“Kalau mau rejeki, cari yang halal dan tidak melanggar. Memang tidak mudah mengubah kebiasaan (menambang) itu, tetapi saya yakin kalau ini saya telaten lakukan nanti ada hasilnya,” tutur dia.

Advertisement

Jujur. Tidak mudah menyusuri lokasi penambangan. Selain jalan terjal dan berbatu, jalur-jalur penambang-penambang pasir di lereng Merapi ditata sedemikian rupa oleh para penambang. Salah satu penataan jalan yang dilakukan penambang untuk menghindar lebih cepat saat ada razia. Jalur-jalur ke arah penambanga juga dipenuhi oleh gundukan-gundukan yang menyerupai bukit kecil. Kalau tidak hafal betul jalur yang dituju, bisa dipastikan akan tersesat.

Beberapa jalur utama yang dilewati truk-truk pengangkut pasir dijaga oleh beberapa orang. Ada juga yang menarik retribusi. Entah resmi atau tidak, masih belum jelas. Orang asing yang baru masuk ke jalur truk pastinya dicurigai. Terkadang, orang-orang di jalur menuju ke arah penambangan menegur untuk mengetahui maksud kedatangannya. Itu salah satu upaya penambang untuk memberikan kabar, jika ada sidak dari pemerintah. Mereka bisa memberikan Informasi cepat untuk menghentikan aktivitas di lokasi penambangan.Lahan Hijau & Konservasi Air

Kepala Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral Dinas PUP-ESDM DIY Edi Indrajaya pun pernah punya cerita soal itu. Saat datang bersama satuan polisi pamong praja (Satpol PP) DIY ke Dusun Singklar Glagaharjo, akhir tahun lalu, akses jalan ditutup dengan bebatuan oleh penambang. Walhasil, kendaraan tim kesulitan untuk masuk ke Kali Gendol. Edi menduga ada kebocoran Informasi sehingga penambang memilih untuk meninggalkan lokasi tersebut.

Sebelumnya, Edi bersama tim melakukan penindakan di Umbulharjo.

“Setelah kami berhasil masuk Singklar, ternyata kosong, tidak ada aktivitas penambangan. Kami tidak kalah akal. Kami telusuri area sekitar penambangan, ternyata bago disembunyikan di balik bukit,” katanya.

Edi menerangkan, Pemda DIY tidak pernah menentukan lereng Merapi sebagai lahan penambangan. Tidak ada pula data berapa besar potensi lahan tambang pasir di lokasi tersebut. Selama ini, katanya, Pemda DIY tegas jika wilayah Merapi merupakan daerah hijau dan lahan konservasi air.

“Buat apa melakukan observasi di sana, lah kami sendiri tidak pernah menentukan Merapi sebagai lahan tambang pasir. Itu sama saja membuang-buang anggaran (kalau dilakukan observasi),” kata Edi.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup DIY Halik Sandera menyatakan penambangan pasir yang marak terjadi di lereng Merapi mengganggu sumber air tanah di wilayah itu. Kalau dibiarkan, suplay air termasuk kualitas air, bisa mengganggu pasokan air bersih.

“Kalau lokasi di sana rusak, kuantitas air bisa turun. Itu bisa mengganggu sumber air. Setiap tahun, air tanah turun hingga 30 sentimeter,” katanya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif