SOLOPOS.COM - Warga Gampingan, Pakuncen, Wirobrajan memasang spanduk menolak diusir karena merasa tinggal di tanah kraton. (Harian Jogja-Ujang Hasanudin)

Tanah Kraton di Gampingan Pakuncen muncul sertifikat atas nama perorangan. Sebanyak 12 keluarga akan digusur

Bisnis.com, JOGJA-Warga RT 44/ RW 10 Kampung Gampingan, Kelurahan Pakuncen, Kecamatan Wirobrajan resah karena rumah yang sudah ditinggali sejak puluhan tahun lalu tiba-tiba disertifikatkan orang lain. Sebanyak 12 kepala keluarga (KK) pun terancam digusur.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Warga menganggap tanah yang mereka tinggali merupakan tanah Sultan Grond (SG). Mereka mengaku memiliki surat kekancingan dari Kraton.

“Waktu itu surat kekancingan memang dipegang oleh bu Tinu [penggugat] waktu masih tinggal disini,” kata salah satu warga yang ikut tergusur, yang enggan disebutkan namanya saat ditemui Harian Jogja, Selasa (4/8/2015).

Pria berusia 40 tahun itu mengungkapkan tanah seluas 1.227 meter persegi dihuni belasan KK berhimpitan. Ia mengaku kakeknya Mbah Jebret tinggal di lokasi tersebut sejak 1926 jauh sebelum ada kelurahan.

Kemudian surat kekancingan diserahkan pada keluarga penggugat sekitar tahun 1980an. Menurut dia, surat kekancingan itu bukan berarti diserahkan sepenuhnya melainkan karena anak tertua.

Namun pada 2005, sumber tersebut bersama warga lainnya kaget karena tanah sudah disertifikatkan atas nama Bu Tinu alias Fransisca Ngatini. Warga mencoba melawan namun kandas di pengadilan, bahkan sampai kasasi memutuskan tanah itu milik Fransisca Ngatini, dan Sabtu mendatang, ke-12 KK harus mengosongkan lahan yang ditinggalinya.

“Sampai saat ini kami masih menelusuri bukti surat kekancingan ke Kraton. Kami juga sudah mendatangi DPRD Kota untuk membantu kami,” kata sumber tersebut. Sebab, kata dia, jika harus pergi ke-12 KK tidak memiliki lahan lagi untuk ditempati.

Sementara itu, ditemui terpisah, Fransisca Ngatini membantah telah melakukan penyerobotan tanah Kraton. Ia mengaku tanah itu milik bapaknya yang sudah disertifikatkan sejak 1994 lalu. Ia juga mengaku tinggal di RT44/ RW 10 Pakuncen bersama ke-12 kk itu.

Ngatini pun tidak mempermasalahkan dengan tuduhan mafia tanah atau serakah. “Saya punya bukti sertifikat. Di pengadilan negeri sampai kasasi terbukti saya menang,” ucap dia di kediamannya di Kampong Kleben, Pakuncen.

Ia mengaku sudah meminta untuk mengosongkan lahannya tersebut sejak 2005 lalu, namun warga mengulur ngulur waktu. Ia juga sudah bersedia memberikan uang kerahiman, namun warga tetap tidak menghiraukannya, “Tinggal menunggu eksekusi saja besok Sabtu,” ujar Ngatini.

Sementara itu Lurah Pakuncen, Joko Susanto saat dihubungi mengaku sudah melakukan mediasi antar kedua belah pihak. Namun ia belum bias berkomentar banyak.

Terpisah, Kepala Bagian Pertanahan, Biro Tata Pemerintahan, Sekretariat Daerah, Pemda DIY, Ismintarti, saat ditemui di ruangannya, Rabu (5/8/2015) mengatakan permasalahan pensertifikatan tanah SG oleh perorangan bisa saja terjadi, karena SG masih banyak tercecer.

Pihak kasultanan pun, kata dia, tidak mempermasalahkan jika akhirnya warga memiliki bukti sertifikat asli. Namun sejak 2008 lalu, Badan Pertanahan tidak bisa lagi mengurus sertifikat tanah SG sesuai dengan surat edaran. “Maka sekarang kami masih melakukan inventarisasi semua tanah Sultan Grond dan Paku Alam Grond,” kata Ismintarti.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya