SOLOPOS.COM - Sri Sultan Hamengku Buwono X (Desi Suryanto/JIBI/Harian Jogja)

Tanah kraton menimbulkan protes Lembaga Swadaya Masyarakat, Gerakan Anak Negeri Anti Diskriminasi (Granad)

Harianjogja.com, JOGJA-Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengku Buwono X menyatakan bahwa semua tanah yang ada di DIY merupakan milik Kraton, tidak ada tanah negara.

Promosi Iwan Fals, Cuaca Panas dan Konsistensi Menanam Sejuta Pohon

“Neng jogja ora ono tanah negara. Hasil Palihan Nagari kok tanah negara.” Kata Sultan usai rapat paripurna di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DIY, Selasa (15/9/2015).

Palihan Nagari merupakan perjanjian pembagian dua wilayah antara Kerajaan Surakarta dan Kerajaan Ngayogyakarta yang dikenal perjanjian Giyanti pada 1755 silam. Sultan heran ada laporan tuduhan perampasan tanah di DIY. “Yang melaporkan enggak tahu sejarahnya,” kata dia.

Lembaga Swadaya Masyarakat, Gerakan Anak Negeri Anti Diskriminasi (Granad) melaporkan Sultan HB X, Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hadiwinoto, dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) DIY ke Presiden terkait indikasi gerakan sparatis di DIY pada 12 September lalu.

Ketua Granad, Willie Sebastian melalui rilis yang diperoleh Harian Jogja, mengatakan bahwa Undang-undang Keistimewaan DIY Nomor 13/2012 telah diselewengkan, terutama dalam bidang pertanahan yang menyebabkan ketidakpastian hukum.

Menurutnya, pengambilalihan hak menguasai Negara terhadap tanah negara dengan cara sertifikasi tanah-tanah negara menjadi tanah milik Badan Hukum Warisan Budaya Kasultanan dan Tanah Pakualaman Pakualaman yang bersifat swasta menggunakan dana APBN pada akhirnya tidak ada lagi tanah negara RI di DIY.

Willie mengatakan desa akan kehilangan hak milik atas tanah desa dan seluruh tanah kas desa karena dikuasai dan dimiliki oleh Badan Hukum Kasultanan dengan cara penerbitan Peraturan Gubernur Nomor 112/2014 tentang Pemanfaatan Tanah Desa, yang bertentangan dengan UU Nomor 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA) Diktum IV.

Dalam rilis tersebut juga disebutkan bahwa penerbitan Raperdais bidang Pertanahan yang isinya sebagai upaya menghidupkan kembali Rijksblad sebagai SG dan PAG, yang sudah dihapus dengan Perda DIY Nomor 3/1984.

“Upaya menghidupkan kembali Rijksbald ini bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 33 ayat 3, UUPA Nomor 5/1960 Diktum IV, dan UUK DIY Pasal 4 dan Pasal 16, serta UU Nomor 3/1950,” tulis Willie.

Willie menyatakan, ketidakpastian hukum itu disebabkan karena keinginan HB X dan KGPH Hadiwinoto untuk memiliki dan menguasai seluruh tanah Negara di DIY dengan upaya menghidupkan kembali aturan hukum pemerintah kolonial, yakni Rijksbalad Nomor 16/1918 tentang Sultanaat Ground dan Rijksblad Pakualaman Nomor 18/1918 tentang Pakualamanaat Ground dalam tata hukum di DIY sebagai wilayah NKRI.

“Atas dasar Rijksbald saat ini dilakukan klaim sepihak, pendataan, dan pengukuran terhadap tanah-tanah Negara dikatagorikan tanah non Keprabon oleh Pemprov DIY,” tulisnya.

Tuduhan serupa juga disampaikan oleh Pengurus Yayasan Trah HB VII, Raden Mas (RM) Triyanto Prastowo Sumarsono. Ia mengklaim sebagai ahli waris turun temurun Sultan HB VII ini menuntut tanah milik HB VII yang dialihkan atasnama lembaga Kraton tanpa izin ahli warisnya yang diakui dalam UUPA sebagai tanah turun temurun.

Sultan menanggapi laporan tersebut dengan santai. “Nanti kita lihat saja,” kata Sultan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya