Jogja
Senin, 12 Maret 2012 - 10:37 WIB

Tanah Magesari untuk Rakyat

Redaksi Solopos.com  /  Harian Jogja  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - TANAG MAGERSARI—Identitas tanah magersari ditempelkan pada bangunan rumahy di Ngampilan, Jogja, Minggu (11/3) (JIBI/HARIAN JOGJA/DESI SURYANTO)

TANAG MAGERSARI—Identitas tanah magersari ditempelkan pada bangunan rumahy di Ngampilan, Jogja, Minggu (11/3) (JIBI/HARIAN JOGJA/DESI SURYANTO)

JOGJA—Keberadaan tanah Magersari yang diperkirakan luasnya mencapai 60% dari  DIY sangat bermanfaat bagi warga yang menempatinya.

Advertisement

Yuni, warga Kelurahan Panembahan, Kraton, Jogja yang menghuni Magersari sejak 1970 mengatakan, setahun ia hanya mengeluarkan biaya Rp14.000 untuk kompensasi menempati SG. “Ini sudah lama dulu kakek saya yang pertama sekarang saya yang menempati,” ujarnya.

Yuni mengaku sangat terbantu dengan kebijakan Kraton soal tanah Magersari. Meskipun statusnya hanya hak pakai dan sewaktu-waktu bila Kraton memerlukan dapat mengambil tanah tersebut.

Advertisement

Yuni mengaku sangat terbantu dengan kebijakan Kraton soal tanah Magersari. Meskipun statusnya hanya hak pakai dan sewaktu-waktu bila Kraton memerlukan dapat mengambil tanah tersebut.

Penghuni Magersari di Sleman juga merasa nyaman menempati tanah Sultan Ground (SG). Sebagian besar digunakan untuk kantor pemerintahan dan tempat usaha karena berada di tempat strategis.

Salah satu penghuni Magersari di Beran, Tridadi, Sleman, Basuki mengaku selama ini tidak ada permasalahan. Ia mengetahui warung sate kambingnya berada di atas tanah Kraton hanya dari cerita. “Yang punya tanah tidak di sini, dengar-dengar memang ini tanah Magersari dulunya bekas rel kereta api,” katanya, Jumat (9/3).

Advertisement

Kawedanan Hageng Panitikismo Keraton Jogja, KGPH Hadiwinoto mengatakan, sudah ratusan tahun warga Jogja menempati tanah Kraton tersebut sejak zaman Sultan HB I. Ini sebagai konsekuensi sistem pewarisan yang tak mewariskan tanah Kraton untuk para ahli waris raja yang bertahta, namun diwariskan ke Keraton secara kelembagaan.

“Kalau diwariskan habis tanah Kraton. Termasuk tanah atribut nagari seperti Alun-alun, Kepatihan itu enggak bisa diwariskan. Pewarisnya ya anak Sultan atau penerus raja atau Sultan yang bertahta tapi secara kelembagaan,” ujarnya.

Menurutnya, tak sulit bagi warga yang ingin mengajukan tinggal di tanah Keraton. Warga hanya menyerahkan sejumlah syarat administrasi seperti KTP, Kartu Keluarga ke Keraton Jogja lewat Panitikismo. Lembaga ini akan melakukan pengecekan ke lapangan untuk memastikan tanah tersebut digarap atau ditempati warga atau tidak serta guna proses pengavlingan tanah.

Advertisement

Tertipu
Hanya saja, tak semua Magersari dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Di Kulonprogo, Magersari justru menjadi alat pihak tertentu untuk meraup keuntungan.

Salah satunya adalah warga Pedukuhan Bendungan Lor, Bendungan, Wates Toro, 43. Diungkapkannya, munculnya polemik tanah PAG bermula ketika 2010 ada pihak yang mengaku dari Puro Pakualam melakukan penebangan pohon-pohon kelapa di tanah PAG yang terletak di belakang kantor Kecamatan Wates. Setelah itu, melalui dua orang mediator, pihak Puro tersebut menawari warga bila ingin mengkapling dan mengajukan kekancingan (sertifikat) Magersari dari Puro Pakualam.

Selang beberapa minggu, ternyata warga tidak juga mendapat surat kekancingan magersari tanah tersebut dari pihak yang semula menjanjikan. Bahkan hingga dua tahun kemudian mereka belum mendapat kepastian. Kekhawatiran warga pun muncul dan mereka berharap uang yang telah mereka bayarkan tersebut bisa kembali.

Advertisement

Di Bantul, sudah hampir tiga tahun lamanya pengajuan perpanjangan surat kekancingan 22 kepala keluarga (KK) di Dusun Mancingan, Parangtritis, Kretek belum direspon pihak Panitikismo Kraton Jogja. “Sudah saya ajukan sejak 2009 lalu,” kata abdi juru resik makam Syekh Maulana dan Cepuri Parangkusumo, Siswo Atmojo, 60, Jumat (8/3).

Oleh 22 KK yang menghuni Sultan Ground (SG) di sekitar Cepuri, kakek empat cucu itu dituakan dengan julukan Lurah Magersari. Meski surat kekancingannya kini sudah kadaluarsa (masa berlaku maksimal 10 tahun), Siswo mengaku tidak khawatir jika ada pihak yang hendak berupaya memanfaatkan demi keuntungan pribadi. “Kalau ada yang hendak macam-macam, saya pasti koordinasi ke Panitikismo,” tegasnya.

Kekhawatiran juga menimpa warga di Gunungkidul terutama pantai merupakan daerah terluas yang memiliki tanah Magersari. Salah satu yang paling banyak digunakan masyarakat yakni di Desa Ngestirejo, Tanjungsari atau kawasan pantai Krakal. Sedikitnya 201 KK yang menempati tanah magersari yang saat ini proses kekancingannya masih diurus oleh Pemkab Gunungkidul.

Suyono, 50, warga Dusun Bruno, Desa Tanjungsari kepada Harian Jogja, Sabtu (11/3) menjelaskan ia menempati tanah tersebut sejak puluhan tahun yang lalu untuk berjualan di kawasan wisata. Ia sendiri sekedar mengikuti sejumlah tetangga lainnya dalam usaha untuk berjualan di pantai Krakal.

Ia mengaku sempat khawatir soal adanya pemberitaan jika ada sejumlah berusaha mengusir warga yang menempati tanah keraton di Kabupaten lain. Pasalnya Suyono sendiri hingga saat ini belum memegang kekancingan itu karena dalam proses pengurusan. (ali)

Advertisement
Kata Kunci : Kota Jogja Kraton MAGERSARI
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif