SOLOPOS.COM - Pengendara melintas di samping proyek Light Rail Transit (LRT) yang ditutup terpal karena roboh di Jalan Kayu Putih Raya, Pulogadung, Jakarta, Senin (22/1/2018). (JIBI/Solopos/Antara/Galih Pradipta)

Pemerintah Daerah (Pemda) DIY mulai merintis pembangunan light rail transit (LRT)

Harianjogja.com, JOGJA- Pemerintah Daerah (Pemda) DIY mulai merintis pembangunan light rail transit (LRT).

Promosi Nusantara Open 2023: Diinisiasi Prabowo, STY Hadir dan Hadiah yang Fantastis

Kepala Dinas Perhubungan DIY Sigit Sapto Rahardjo mengungkapkan studi yang telah dirampungkan akan ditindaklanjuti dengan membuat bisnis plan. Rencana tersebut akan dilaksanakan tahun ini, sehingga di tahun 2019 sudah bisa dibuat Detail Engineering Design (DED).

Baru setelah ada DED, Pemda DIY akan membuat skema pembiayaan. Apakah akan mengandalkan APBD atau menggunakan skema Kerja sama Pemerintah dengan Badan Usaha (PKBU).

“Kalau APBD ada keterbatasan anggaran. Pembangunannya nanti tergantung DED. Kalau ada investor, Selatan dulu. Selatan lebih gampang. Lahan yang digunakan lebih banyak di Bantul, hampir 1.500 hektare di sana. Karena dari Yogyakarta ke Parangtritis banyak Bantul. Totalnya memakan lahan 2.500 hektare,” jelas Sigit, Kamis (1/2/2018).

Meski prosesnya memakan waktu lama, Sigit berharap sebelum 2025, LRT sudah bisa selesai dibangun. Pembangunan moda transportasi ini diperkirakan memakan biaya Rp2,5 triliun.

Selain memecah kepadatan lalu lintas, pembangunan LRT ditujukan untuk menunjang keberadaan New Yogyakarta International Airport (NYIA). Nantinya LRT akan terintegrasi dengan jalur kereta api Sentolo dan Kedundang, Temon, Kulonprogo.

Peneliti Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) Universitas Gadjah Mada (UGM) Arif Wismadi mengatakan efektivitas LRT untuk berkontribusi dalam mengurangi kemacetan sangat tergantung pada integrasinya dengan moda dan sistem layanan lain.

Selain itu, lanjut Arief, desain LRT juga harus meminimalkan perlintasan sebidang, agar tidak menimbulkan sumber kemacetan baru di moda jalan yang ada di sekitar perlintasan, terutama saat frekuensi penggunaan LRT semakin tinggi.

Ia mengatakan, untuk menambahkan manfaat dan penurunan kemacetan, maka seyogianya pengembangan kawasan di sepanjang LRT mengacu pada konsep Transit Oriented Development [TOD].

“Yaitu dengan pengembangan area pemukiman, perkantoran dan komersial serta pendukungnya mendekat pada transit atau angkutan umum massal, serta jarak antar fasilitas bisa dijangkau dengan jalan kaki,” jelasnya.

Terkait dengan upaya penunjang NYIA tersebut, Arif mengatakan hal tersebut merupakan langkah bagus, karena dapat memberikan pilihan menarik pada pengguna bandara dan juga dapat mengurangi beban jalan.

Arif menambahkan, jika pembangunan LRT menerapkan skema Pemerintah dengan Badan Usaha (PKBU), selain menjaga kepentingan publik, maka kepentingan komersial harus diseimbangkan.

Dalam artian jika perhitungan kelayakan finansial dari penerimaan operasi belum mencukupi maka perlu dibuat opsi KPBU yang menyatukan konsesi (bundling) antara layanan transportasi dan pengembangan properti serta area komersial di stasiun serta wilayah pengembangan TOD.

“Dengan demikian penerimaan dari kawasan TOD dapat meningkatkan kelayakan investasi dari LRT,” ucapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya