SOLOPOS.COM - Pengemis yang berupura-pura lumpuh di Jalan Pasar Kembang atau kawasan Malioboro. (IG @polsekgedongtengen)

Solopos.com, JOGJA — Beberapa hari lalu viral di media sosial mengenai seorang pengemis yang pura-pura lumpuh di Jalan Pasar Kembang atau kawasan Malioboro, Kota Jogja. Pria itu sengaja berpura-pura lumpuh untuk mendapatkan belas kasihan masyarakat dan ujungnya diberi uang.

Setelah video ini ramai menjadi perbincangan publik di media sosial, pengemis pura-pura lumpuh itu kemudian diamankan aparat kepolisian dair Polsek Gedongtengen.

Promosi Mudik: Traveling Massal sejak Era Majapahit, Ekonomi & Polusi Meningkat Tajam

Dalam pemeriksaan, pengemis pura-pura lumpuh itu merupakan warga Banguntapan, Kabupaten Bantul, berinisial AGP dan berusia 50 tahun.

Dalam video viral yang diunggah di media sosial Instagram oleh @merapi_uncover, terlihat pengemis berusia paruh baya itu mengenakan pakaian berwarna gelap menyeberang dari arah selatan Jalan Pasar Kembang dan mengemis di area trotoar.

Kepala Seksi Humas Polsek Gedongtengen, Aiptu Purwanto, mengatakan pengemis pura-pura lumpuh ini berhasil diamankan berkat laporan dari seorang warga setempat yang memiliki rekaman CCTV yang membuktikan aktivitas bohong pengemis itu.

Dalam rekaman tersebut, AGP terlihat berjalan kaki menuju lokasi kemudian duduk dan mengemis dengan gaya berpura-pura lumpuh. Pada siang harinya, seorang datang dengan sepeda motor untuk menjemputnya. Tampak AGP berdiri dan berlari menuju sepeda motor tersebut sebelum pergi dari lokasi.

“Warga sekitar sudah sering menjumpai AGP berpura-pura lumpuh demi mendapatkan belas kasihan,” jelasnya, Senin (10/7/2023).

Setelah mendapatkan laporan dan bukti yang jelas, petugas segera mendatangi Tempat Kejadian Perkara (TKP) dan berhasil mengamankan AGP ketika ia sedang mengemis kepada para pejalan kaki. Ia kemudian digelandang ke Mapolsek Gedongtengen untuk didata dan diperiksa lebih lanjut oleh petugas.

Saat diinterogasi, AGP mengaku berusia 50 tahun dan merupakan warga Banguntapan, Bantul. Ia juga mengakui perbuatannya berpura-pura lumpuh hanya untuk mendapat simpati dan belas kasihan dari pengunjung di sekitar lokasi dan memperoleh sejumlah uang.

“AGP kami berikan pembinaan serta diminta untuk membuat surat pernyataan agar tidak mengulangi perbuatannya di masa mendatang,” katanya.

Purwanto juga berharap kepada masyarakat dapat lebih waspada terhadap pengemis yang memanfaatkan belas kasihan demi kepentingan pribadi. Masyarakat diimbau untuk menyumbang pada instansi dan lembaga sosial lain yang terpercaya agar lebih tepat sasaran.

Mentalitas Pengemis

Banyaknya fenomena pengemis di kota-kota besar, termasuk di Kota Jogja dengan beragam kedok mendapat tanggapan dari Dosen Departemen Sosiologi UGM, Andreas Budi Widyanta.

Dia menyebut fenomena banyaknya pengemis tidak luput dari mentalitas seseorang. Mentalitas yang dimaksud adalah mentalitas orang yang tidak mau bekerja. Sehingga mereka memilih jalan instan untuk mendapatkan rupiah dengan jalan mengemis.

Aspek mentalitas menjadi penting, bagaimana membentuk mentalitas masyarakat yang giat bekerja. Bukan karakter yang malas bekerja dan bertumpu pada meminta-minta. Sayangnya, pembangunan karakter manusia yang giat bekerja ini dinilai menjadi problem kebudayaan saat ini.

“Membangun karakter manusia yang mau giat bekerja ini ya problem kebudayaan besar kita dan ini perlu pembentukan tata nilai, pembentukan karakter manusia yang juga bahkan ada rasa malu,” tegasnya, Selasa (11/7/2023).

Pria yang akrab disapa Abe itu menilai kegiatan mengemis merupakan tindakan orang yang tidak punya rasa malu. Para pengemis mengandalkan rasa iba, menjadikan usaha meminta-minta sebagai usaha manipulatif yang ternyata mereka bergelimang harta. Salah satu contoh, pengemis pura-pura lumpuh di kawasan Malioboro yang telah ditangkap petugas.

Bila diteliti lebih lanjut, Abe mengungkapkan ada pengemis yang membawa anak untuk meminta-minya. Namun acap kali ternyata anak yang dibawanya untuk mengemis bukan lah anaknya. Melainkan anak orang lain yang dipinjam untuk mengemis.

“Bahwa itu adalah kelompok-kelompok orang yang terorganisir untuk melakukan model menjadi pengemis, yang sebetulnya lalu memanfaatkan untuk bisa menggali keuntungan dari menjual rasa iba dari masyarakat. Organisasi ini tentu perlu ditelisik lebih lanjut, perlu kajian yang lebih komprehensif,” tuturnya.

Di sisi lain, Abe juga menyinggung kesadaran masyarakat untuk tidak mudah memberikan uangnya dengan dalih rasa iba semata tanpa tahu latar belakang peminta-minta. Karena para pemberi tidak bisa tahu apakah para pengemis memang betul-betul membutuhkan atau tidak.

Sementara di daerah lainnya, lanjut Abe, ada pengemis yang menggunakan uangnya untuk menyewa jasa LC atau manusia silver yang menggunakan uangnya untuk menyewa jasa open BO.

Sementara di lain pihak dari kacamata Abe ada banyak lembaga yang justru membutuhkan uluran tangan para dermawan namun luput atau justru jarang disambangi.

“Atau misalnya justru menjadi mengangkat semacam menjadi foster parent, bapak angkat gitu, kenapa itu tidak dilakukan ketimbang hanya memberi secara acak setiap pengemis yang meminta-minta kepada kita. Butuh sikap yang tegas untuk menolak, tidak memberi pengemis-pengemis itu apalagi di jalanan,” tegasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya