SOLOPOS.COM - Raden Ajeng Artie Ayya Fatimasari,anak pertama pasangan Kanjeng Pangeran Haryo Wironegoro dan Gusti Kanjeng Ratu Pembayun saat mengikuti tradisi tetesan, Minggu (22/12/2013). (JIBI/Harian Jogja/Desi Suryanto)

Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat kembali punya gawe. Setelah GRK Bendara melaksanakan acara mitoni, Sabtu (21/12/2013), giliran GKR Pembayun menggelar acara untuk putrinya. Berikut laporan wartawan Harianjogja.com, Andreas Tri Pamugkas.

Dengan malu-malu, seorang anak perempuan itu mencium lutut eyang dan kedua orangtuanya. Begitu mendapatkan ciuman balasan di pipinya, tangan kanannya spontan mengusap. Ayahnya sendiri kewalahan menciumnya karena berulangkali ia menghindar.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Dipandu ibunya, anak itu dimasukan dalam kotak berkelambu bewarna putih atau kerobong yang hanya muat menampungnya dengan seorang perawat. Anak perempuan itu adalah Raden Ajeng Artie Ayya Fatimasari,anak pertama pasangan Kanjeng Pangeran Haryo Wironegoro dan Gusti Kanjeng Ratu Pembayun.

Pada Minggu (22/12/2013), anak berusia 10 tahun itu menjalani ritual tetesan di kediamannya, Dalem Wironegoro, Jalan Suryomentaraman.

Mendung yang menggantung tak menyurutkan tamu undangan untuk hadir dalam ritual tersebut. Semua keluarga pun nampak menyaksikannya. GKR Hayu, adik Pembayun yang meneruskan kuliah S2 di Amerika setelah menikah Oktober lalu juga terlihat datang bersama dengan suaminya KPH Notonegoro.

Tetesan itu merupakan suatu upacara sunatan bagi anak perempuan untuk menandai bahwa anak itu sudah mulai menginjak dewasa. Kematangan fisik anak perempuan ditandai dengan menstruasi. Kalau anak laki-laki ditandai dengan mimpi, atau keluarnya air mani saat tidur.

Pembayun mengatakan, di dalam kerobong itu, putrinya menjalani prosesi sunatan dengan membersihkan pada organ vital perempuan menggunakan obat antiseptik. Saat berlangsung upacara tersebut, pengirit abdi dalem Masjid Panepen dengan dipimpin Mas Riya Haji Abdul Ridwan membacakan doa.

Setelah itu, Artie keluar dan duduk dipangku oleh seorang yang dituakan. Ia kemudian meminum kunir asem, beras kencur, gula jawa dan gula batu yang dilarutkan dengan air panas.

“Agar saat mendapatkan haid pertama, tidak ada penyakit karena pada bagian perempuan bersih dari bakteri,” ungkap Pembayun.

Selanjutnya, Artie menjalani siraman dengan bunga setaman di pelataran Dalem, yang melambangkan sifat suci dalam tingkatan/peralihan hidup.

Tak hanya Artie, tetesan itu diikuti oleh tujuh anak perempuan lainnya di dalam rumah. Sebagian masih ada hubungan darah, sedangkan sebagian lain adalah tetangga sekitar rumah. Hanya mereka tidak mengikuti prosesi siraman. “Ini namanya tradisi belo, yang mesti ada ketika keluarga menggelar tetesan. Untuk sama-sama nyengkuyung budaya,” ujarnya.

Dengan bertepatan Hari Ibu, Pembayun berpesan kepada ibu-ibu agar ritual tersebut dapat dilestarikan di tengah masyarakat, tapi tidak perlu digelar dengan heboh sehingga mengeluarkan banyak biaya.”Yang penting pesan menjaga kesehatan perempuan tersampaikan.”

Di sisi lain, si anak sendiri, lanjutnya, mendapatkan pendidikan akan tradisi menjaga kesehatan itu sejak dini. Sehingga ketika dewasa kelak dan berumah tangga dan mewariskan tradisi itu pada anaknya cucunya.”Sambil pula berdoa agar anak tumbuh dengan baik, sehat dan selamat dunia akhir,” begitu pula harapan Pembayun pada anak sulungnya itu.

Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan, pakem tradisi itu di Kraton tidak pernah berubah, kecuali di masyarakat dapat membuatnya lebih praktis. Dengan melestarikan tradisi itu, ia berharap, mereka yang menjalaninya dapat memaknai peristiwa budaya tersebut. ”Sehingga terbangun etika moralitasnya,” pesannya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya