Jogja
Minggu, 22 Desember 2013 - 19:52 WIB

Tetesan Putri Pembayun, Jaga Kesehatan Sekaligus Lestarikan Budaya

Redaksi Solopos.com  /  Nina Atmasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Raden Ajeng Artie Ayya Fatimasari,anak pertama pasangan Kanjeng Pangeran Haryo Wironegoro dan Gusti Kanjeng Ratu Pembayun saat mengikuti tradisi tetesan, Minggu (22/12/2013). (JIBI/Harian Jogja/Desi Suryanto)

Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat kembali punya gawe. Setelah GRK Bendara melaksanakan acara mitoni, Sabtu (21/12/2013), giliran GKR Pembayun menggelar acara untuk putrinya. Berikut laporan wartawan Harianjogja.com, Andreas Tri Pamugkas.

Dengan malu-malu, seorang anak perempuan itu mencium lutut eyang dan kedua orangtuanya. Begitu mendapatkan ciuman balasan di pipinya, tangan kanannya spontan mengusap. Ayahnya sendiri kewalahan menciumnya karena berulangkali ia menghindar.

Advertisement

Dipandu ibunya, anak itu dimasukan dalam kotak berkelambu bewarna putih atau kerobong yang hanya muat menampungnya dengan seorang perawat. Anak perempuan itu adalah Raden Ajeng Artie Ayya Fatimasari,anak pertama pasangan Kanjeng Pangeran Haryo Wironegoro dan Gusti Kanjeng Ratu Pembayun.

Pada Minggu (22/12/2013), anak berusia 10 tahun itu menjalani ritual tetesan di kediamannya, Dalem Wironegoro, Jalan Suryomentaraman.

Advertisement

Pada Minggu (22/12/2013), anak berusia 10 tahun itu menjalani ritual tetesan di kediamannya, Dalem Wironegoro, Jalan Suryomentaraman.

Mendung yang menggantung tak menyurutkan tamu undangan untuk hadir dalam ritual tersebut. Semua keluarga pun nampak menyaksikannya. GKR Hayu, adik Pembayun yang meneruskan kuliah S2 di Amerika setelah menikah Oktober lalu juga terlihat datang bersama dengan suaminya KPH Notonegoro.

Tetesan itu merupakan suatu upacara sunatan bagi anak perempuan untuk menandai bahwa anak itu sudah mulai menginjak dewasa. Kematangan fisik anak perempuan ditandai dengan menstruasi. Kalau anak laki-laki ditandai dengan mimpi, atau keluarnya air mani saat tidur.

Advertisement

Setelah itu, Artie keluar dan duduk dipangku oleh seorang yang dituakan. Ia kemudian meminum kunir asem, beras kencur, gula jawa dan gula batu yang dilarutkan dengan air panas.

“Agar saat mendapatkan haid pertama, tidak ada penyakit karena pada bagian perempuan bersih dari bakteri,” ungkap Pembayun.

Selanjutnya, Artie menjalani siraman dengan bunga setaman di pelataran Dalem, yang melambangkan sifat suci dalam tingkatan/peralihan hidup.

Advertisement

Tak hanya Artie, tetesan itu diikuti oleh tujuh anak perempuan lainnya di dalam rumah. Sebagian masih ada hubungan darah, sedangkan sebagian lain adalah tetangga sekitar rumah. Hanya mereka tidak mengikuti prosesi siraman. “Ini namanya tradisi belo, yang mesti ada ketika keluarga menggelar tetesan. Untuk sama-sama nyengkuyung budaya,” ujarnya.

Dengan bertepatan Hari Ibu, Pembayun berpesan kepada ibu-ibu agar ritual tersebut dapat dilestarikan di tengah masyarakat, tapi tidak perlu digelar dengan heboh sehingga mengeluarkan banyak biaya.”Yang penting pesan menjaga kesehatan perempuan tersampaikan.”

Di sisi lain, si anak sendiri, lanjutnya, mendapatkan pendidikan akan tradisi menjaga kesehatan itu sejak dini. Sehingga ketika dewasa kelak dan berumah tangga dan mewariskan tradisi itu pada anaknya cucunya.”Sambil pula berdoa agar anak tumbuh dengan baik, sehat dan selamat dunia akhir,” begitu pula harapan Pembayun pada anak sulungnya itu.

Advertisement

Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan, pakem tradisi itu di Kraton tidak pernah berubah, kecuali di masyarakat dapat membuatnya lebih praktis. Dengan melestarikan tradisi itu, ia berharap, mereka yang menjalaninya dapat memaknai peristiwa budaya tersebut. ”Sehingga terbangun etika moralitasnya,” pesannya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif