SOLOPOS.COM - Dua bersaudara Sulistyowati atau Siauw Li Tyen (kanan) dan Syaniwati atau Siauw Li Sien (kiri) sedang menyiapkan pembuatan kue mangkok di kediamannya di Tukangan, Danurejan, Jogja, Rabu (21/9/2016). ( Bernadheta Dian Saraswati/JIBI/Harian Jogja)

Tionghoa Jogja, kue mangkok cukup banyak dicari untuk sesaji doa leluhur

Harianjogja.com, JOGJA-Kue mangkok atau dalam bahasa Tionghoa dikenal dengan Fak Kauw, adalah kue yang biasa digunakan untuk sesaji mendoakan leluhur. Kue ini terbuat dari bahan dasar tepung terigu dan gula aren.

Promosi Berteman dengan Merapi yang Tak Pernah Berhenti Bergemuruh

Di Jogja, tempat pembuatan kue mangkok ada di sebuah rumah di Tukangan, Danurejan, Jogja. Dua bersaudara Sulistyowati atau Siauw Li Tyen, 71 dan Syaniwati atau Siauw Li Sien, 68, memiliki keahlian membuat kue mangkok dan beragam kue khas Tionghoa sejak 20 tahun yang lalu. Keahliannya itu menjadi penghidupan mereka sehari-hari.

Pada Rabu (21/9/2016) pagi, Harianjogja.com mendatangi keduanya yang sedang menyiapkan pesanan. Kali ini, mereka membuat 75 kue untuk dikirim ke Semarang. “Katanya leluhur kita suka makan kue mangkok maka dikirimi ini [kue mangkok],” kata Syaniwati di dapurnya sembari menyiapkan pembakaran untuk memanasi adonan.

Kue mangkok buatan mereka tidak menggunakan pewarna buatan melainkan menggunakan gula aren sehingga menghasilkan warna cokelat. Setiap bijinya mereka jual Rp2.500. Sebenarnya, di Pasar Patuk Jogja banyak dijual beragam kue khas Tionghoa, tetapi beberapa pelanggan lebih memilih memesan pada dua bersaudara ini karena rasanya yang legit dan menggunakan bahan alami.

Sulistyowati menambahkan, banyak pemesan justru berasal dari luar daerah yaitu Semarang, Purwokerto, dan Kebumen. Biasanya mereka memesan pada tanggal-tanggal tertentu. “Biasanya tanggal 1 dan 15 tahun Imlek karena untuk doa leluhur,” ujar dia.

Selama pembuatan, kendala yang dihadapi hanya ketika mendapatkan bahan tepung terigu yang masih baru diproduksi. Paling tidak, tepung yang mereka butuhkan yang sudah dijual di warung selama 10 hari. Hal ini berpengaruh pada mekar tidaknya adonan kue mangkok.

Menurutnya, kue mangkok adalah simbol berkah yang merekah ke atas sehingga doa yang dikirim untuk para leluhur bisa naik dan diterima. “Rezeki bisa mumbul, doa bisa tersampaikan,” ungkapnya.

Untuk sesaji, kue mangkok selalu disajikan dalam jumlah ganjil. Sulistyowati tak mengetahui pasti artinya tetapi kebiasaan itu sudah berlangsung turun-temurun. Sesaji lainnya seperti kue bacang maupun buah-buahan juga harus disajikan dalam jumlah ganjil.

Saat ini, Sulistyowati dan adiknya hanya membuat kue mangkok saat ada pesanan. Dulu, mereka sampai menitipkan kue-kue ke toko dan mempekerjakan karyawan untuk membantu usaha mereka.

“Sekarang yang buat [kue mangkok] makin banyak,” kata Sulistyowati.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya