Jogja
Jumat, 9 Juni 2017 - 06:22 WIB

TIONGHOA JOGJA : Tahun ini, Peh Cun Digelar dengan Ritual Sederhana, Ini Alasannya

Redaksi Solopos.com  /  Mediani Dyah Natalia  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Perayaan Peh Cun digelar sederhana oleh sejumlah warga Tionghoa dengan sembahyangan di pinggir Pantai Parangtritis, Bantul, Selasa (30/5/2017) lalu. (IST)

Tionghoa Jogja akan merayakan Festival Peh Cun

Harianjogja.com, JOGJA — Tak seperti tahun sebelumnya, perayaan Festival Peh Cun yang biasa digelar di kawasan pantai selatan Bantul hanya digelar secara sederhana. Ritual Peh Cun yang digelar setiap 30 Mei hanya digelar dengan sembahyangan di Pantai Parangtritis.

Advertisement

“Untuk tahun ini memang tidak diadakan perayaan seperti tahun sebelumnya, yakni Lomba Perahu Naga. Hanya ritual kecil yakni sembahyangan saja,” ujar Ketua Jogja Chinese Art and Culture Center (JCACC) Harry Setyo, Rabu (7/6/2017).

Harry mengatakan ritual sederhana ini dilakukan agar tradisi Peh Cun tidak terputus. Dalam ritual tersebut diikuti beberapa orang di pinggir Pantai Parangtritis. Ditiadakan Lomba Perahu Naga, salah satunya perayaan ini bertepatan dengan bulan puasa. Adapun egiatan tersebut membutuhkan aktifitas fisik yang berat.

Acara sembahyangan dilakukan dengan sebuah altar disertai beberapa sesaji yang khas dalam perayaan Peh Cun. Sesaji yang dipersembahkan dalam ritual tersebut yakni Bakcang dan Kicang.

Advertisement

“Bakcang merupakan makanan tradisional Tionghoa yang berisi daging dan Kicang, tidak ada isinya. Keduanya melambangkan sinergisitas,” papar Harry.

Makan Bakcang sudah menjadi tradisi dalam perayaan Peh Cun. Perayaan ini merupakan tradisi yang telah dilakukan lebih dari 2.300 tahun yakni sejak masa Dinasti Zhou.

Harry memaparkan perayaan ini merupakan peringatan atas Qu Yuan, yakni seorang menteri negara Chu. Dia dikenal sebagai pejabat berbakat yang setia pada negaranya. Namun idenya untuk memajukan negara Chu dengan bersatu dengan negara Qi dikritik keluarga kerajaan.

Advertisement

“Karena kecewa, Qu Yuan akhirnya bunuh diri dengan melompat ke Sungai Miluo. Warga lalu melemparkan nasi agar ikan dan udang tidak mengganggu jasadnya. Makanan itu dibungkus dengan daun-daunan yang lalu dikenal dengan Bakcang,” jelas Harry.

Lalu perayaan ini diidentikkan dengan Lomba Perahu Naga. Hal ini berawal dari para nelayan di sana yang mencari-cari jenazah sang menteri dengan perahu menyusuri sungai.

“Meski tahun ini tidak digelar, akan tetapi masih ada hari lain. Tahun depan mudah-mudahan dapat digelar lagi dengan meriah,” imbuh Harry.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif