SOLOPOS.COM - Pasangan Suami Istri yang menjalani Upacara Tingkeban saat menjalani prosesi siraman di Sendang Mangunan, Dlingo, Bantul. (Yudho Priambodo/JIBI/Harian Jogja)

Tradisi Jawa berupa upacara tingkeban digelar di Bantul

Harianjogja.com, BANTUL– Tingkeban merupakan sebuah tradisi masyarakat Jawa peninggalan leluhur yang hingga saat ini masih dipertahankan di Desa Mangunan, Kecamatan Dlingo.

Promosi Skuad Sinyo Aliandoe Terbaik, Nyaris Berjumpa Maradona di Piala Dunia 1986

Tingkeban atau mitoni merupakan sebuah upacara tradisional untuk bayi yang masih dalam kandungan yang memasuki bulan ketujuh, dalam upacara tradisi ini ibu sang bayi harus menjajal kain jarik sebanyak tujuh kali untuk menemukan motif yang tempat demi kelancaran proses persalinan bayi.

Iringan musik gending jawa mengiringi sepasang suami istri yang tengah berjalan pelan menuju sebuah lokasi upacara adat disebuah sendang di tengah desa, usia kehamilan yang menginjak tujuh bulan membuat sang istri berjalan tampak lebih perlahan sembari menggandeng tangan sang suami.

Penuh harapan agar sang bayi lahir dengan selamat dan tumbuh dewasa menjadi anak yang berbakti kepada orang tua, serta untuk menghormati leluhur upacara mitoni atau tingkeban ini dilaksanaan bagi pasangan yang akan segera memiliki keturunan.

Tokoh masyarakat Desa Mangunan, Purwo Harsono mengatakan tingkeban merupakan upacara tradisi yang hanya dilakukan di desa mereka, bagi perempuan yang mengandung bayi dan sudah menginjak usia tujuh bulan baiknya melakukan upacara tingkeban.

“Upacara ini adalah doa permohonan kepada Tuhan guna meminta keselamatan agar proses melahirkan bayi dalam kandungan ibu bisa lancar tanpa adanya kendala apapun,” ujarnya, Minggu (12/06/2016).

Tahap demi tahap prosesi upacara akan dilakukan saat tingkeban, upacara ini diawali dengan tradisi sungkeman oleh calon ayah dan ibu kepada orang tua masing-masing. Selanjutnya calon orangtua berjalan menuju sendang untuk melakukan siraman yang dilaksanakan oleh tujuh sesepuh keluarga.

Guyuran air mulai membahasi tubuh kedua pasangan yang melakukan upacara, harapan demi harapan di ucapkan sembari gayung para sesepuh kembali mengguyuri seluruh tubuh mereka. Air dari sumber mata air atau mbelik dipercayai warga akan membuat bayi menjadi sehat jasmani dan rohani.

Bersambung ke halaman 2

Usai menjalani siraman, cengkir gadhing yang dibawa oleh calon ayah diteroboskan dari atas melalui dalam kain yang dikenakan calan ibu lantas kemudian diterima oleh nenek bayi dengan menggendongnya begitulah proses brojolan berlangsung.

“Prosesnya sangat banyak, belum usai setelah pasangan melakukan prosesi brojolan kemudian calon ibu akan mengikuti prosesi ganti busono,” paparnya.

Tujuh kain jarik dengan motif yang memiliki arti dan filosofi masing-masing mulai dipakaikan kepada calon ibu. Sido Mukti menjadi kain yang pertama dipakaikan, bermakna agar sang bayi yang akan lahir akan mendapat kebahagiaan.

Kemudian dengan makna agar bayi mampu menggapai kemuliaan dalam menjalani kehidupannya lantas sang calon ibu dipakaikan kain bermotif Sido Luhur. Yang ketiga Parang Kusumo yang dipakaikan dengan bermakna agar bayi bisa bekerja dan memiliki upaya tinggi dalam mencari nafkah kehidupan.

Dengan makna lain untuk memiliki rasa cinta kasih terhadap pasangannya motif semen romo menjadi kain keempat yang dipakaikan. Motif kelima, udan riwis yang bermakna agar bayi bisa menyenangkan masyarakat di sekitarnya kembali dikenakan secara bergantian.

“Untuk kain yang akan dikenakan harus dengan tujuh motif tersebut. Prosesi kemudian dilanjut dengan kain keenam, yakni motif cakar ayam dengan makna semoga bayi bisa mandiri dalam kehidupannya. Terakhir, motif lurik klasem yang bermakna hidup yang bersahaja dan berbakti kepada orang tua,”paparnya.

Selesai mengenakan kain dengan tujuh motif, pasangan tersebut kembali berjalan menuju rumah untuk prosesi memutus benang lawe atau janur yang dilingkarkan di perut calon ibu. Calon ibu pun sebelumnya akan menduduki tujuh kain atau ageman sebagai simbol untuk menjaga kandungan.

Terakhir calon ibu dengan didampingi calon ayah akan membuat rujak. Terakhir para tamu undangan dengan membawa kreweng (pecahan genting) akan dipakai untuk mata uang untuk membeli rujak buatan calon ibu, maknanya kelak agar bayi yang mereka lahirkan mendapat banyak rezeki dan mampu menghidupi keluarganya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya