SOLOPOS.COM - Foto ilustrasi panahan tradisional Mataram. (JIBI/Harian Jogja/Antara)

Tradisi Jogja berupa jemparingan dikawinkan dengan pakaian daerah di Indonesia.

Harianjogja.com, JOGJA-Olahraga tradisi jemparingan atau panahan gaya Mataram yang akan digelar di Balaikota Jogja, Minggu (4/10/2015) berbeda dari yang lain. Biasanya, peserta seragam memakai pakaian adat Jawa Mataram, namun kali ini ratusan peserta dari berbagai daerah di Indonesia dipersilakan mengenakan pakaian adat khas masing-masing dan menerapkan cara memanah sesuai dengan karakter kerajaannya.

Promosi Era Emas SEA Games 1991 dan Cerita Fachri Kabur dari Timnas

Ketua Panitia Gladen Ageng Jemparingan Jawi Gaya Mataram Suryadi mengatakan sesuai namanya, olahraga panah tradisi dalam kegiatan ini biasanya dilakukan dengan menggunakan pakaian adat Jawa dan memanah dengan tata cara Jawa, salah satunya tidak terlalu cepat melepaskan busur panah. Namun, kali ini peserta dari berbagai daerah dipersilakan membawakan jemparingan sesuai dengan tradisinya masing-masing. Ia mencontohkan, jemparingan dari Jawa Timur lebih cepat dalam melepaskan busur panah.

“Kegiatan yang digelar besok mulai pukul 09.30 WIB, dibagi dalam empat kategori, yakni dewasa laki-laki dan perempuan, serta anak-anak laki-laki dan perempuan, yang membedakan kategori tersebut adalah jarak tembaknya,” ujarnya dalam jumpa pers di Balaikota Jogja, Jumat (2/10/2015).

Humas Paguyuban Dewondanu Idrus mengatakan perbedaan panah konvensional dengan tradisi terletak pada aturan dan sasaran tembaknya. Ia menguraikan, biasanya panah konvensional dilakukan dengan berdiri, target sasaran berupa papan dengan jarak tembak mulai 50 meter, dan tidak ada aturan berpakaian. Sementara, jemparingan Jawi Mataram harus menggunakan pakaian adat, melakukannya dengan bersila, dan target berupa bandul dengan diameter 2,5 sentimeter dan panjang 15 sentimeter denga jarak tembak 35 meter.

“Panah konvensional berasal dari Eropa, sementara jemparingan adalah tradisi lokal yang tidak hanya mengedepankan fisik, melainkan juga mental dan spiritual, terlihat dari cara dan aturan yang menyertainya,” kata Idrus.

Perkembangan jemparingan, tuturnya, mulai terasa di Jogja. Terlebih sudah ada sekolah di Bantul yang memasukkannya dalam ekstrakurikuler. Ia menyebutkan setidaknya, terdapat empat paguyuban di DIY yang fokus pada olahraga tradisi ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya