Jogja
Kamis, 6 Agustus 2015 - 05:20 WIB

UKM DIY : Biaya Produksi Mahal, Perajin Batik Pilih Pewarna Sintentis

Redaksi Solopos.com  /  Mediani Dyah Natalia  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Salah satu proses pembuatan batik sinom parijotho salak di Dusun Plapangan, Pandowoharjo, Sleman. (Rima Sekarani/JIBI/Harian Jogja)

UKM DIY terus didorong menggunakan bahan ramah lingkungan. Adapun perajin batik belum sepenuhnya merealisasikan karena terganjal masalah biaya produksi.

Harianjogja.com, SLEMAN-Ketua Paguyuban Perajin Batik Sleman Tanti Syarif mengungkapkan, dari ratusan perajin, hanya tiga perajin yang konsen menggunakan pewarna alam di wilayahnya. Adapun masing-masing kelompok telah melakukan pelatihan terkait penggunaan zat warna alam namun hal tersebut belum dapat meningkatkan minat perajin untuk menggunakan pewarna alam.

Advertisement

“Kalau pakai pewarna sintetis, satu kali celup warnanya bisa muncul. Kalau pewarna alam, minimal 10 kali [warna] baru muncul,” kata Tanti, Rabu (5/8/2015).

Jika dilihat dari persediaan bahannya, di Sleman masih mudah dijumpai tanaman yang bisa dimanfaatkan untuk bahan pewarna. Namun kendalanya lebih pada belum adanya segmentasi pasar yang jelas, yang berminat pada batik warna alam. Selain itu harga yang dipasang juga jauh lebih mahal mengingat proses produksinya yang rumit.

Sebenarnya, lanjut Tanti, pewarna alam lebih ramah lingkungan. Dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan tidak berbahaya dibandingkan pewarna sintetis.

Advertisement

Sementara itu, Kasi Pengembangan Usaha Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop) Sleman Moch. Komarudin menyampaikan, konsistensi warna yang dimunculkan dari pewarna alam juga menjadi pemicu para perajin tak berminat menggunakan pewarna alam.

“Kadang warna yang dihasilkan itu tidak sama,” kata dia.

Harga batik dengan pewarna alam memang mahal. Bahkan bisa mencapai lima kali lipat dari batik pewarna sintetis. Menurutnya, alasan mahalnya harga memang disebabkan proses pencelupan yang harus dilakukan berkali-kali. Bahkan ia menyebut pencelupan ke 25 hingga 30 baru memunculkan warna yang diinginkan.

Advertisement

Ia juga menyebut konsumen batik pewarna alam memang lebih terbatas. “Orang awam memang tidak paham dengan batik warna alam karena warnanya terlihat lusuh dan tidak mencolok,” ungkapnya.

Beberapa tanaman yang dapat digunakan sebagai pewarna alam di antaranya kulit batang pohon mahoni, daun mangga, beberapa jenis rerumputan, dan masih banyak lagi. “Hitungannya kalau di Sleman sudah ada. Tidak susah nyarinya,” kata dia.

Untuk mempermudah perajin memperoleh bahan pewarna alam, pihaknya meminta Dinas Pertanian Perikanan dan Kehutanan (DPPK) Sleman untuk meningkatkan penanaman tanaman pewarna. “Kami minta Dinas Pertanian untuk menggalakkan penanaman tumbuhan yang mampu menghasilkan pewarna,” pungkasnya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif