UMK 2016 di kabupaten dan kota naik, tetapi buruh tetap kecewa
Harianjogja.com, JOGJA-Buruh DIY yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPSI) kecewa atas keputusan Gubernur yang menyetujui kenaikan upah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 78/2015 tentang Pengupahan.
“Keputusan Gubernur melegalkan upah rendah bagi buruh.” kata Wakil Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah (DPD) KSPI DIY, Kirnadi, saat dihubungi, Senin (2/10/2015) malam.
Kirnadi mengakui memang aturan baru pengupahan nilainya lebih tinggi dari survei kebutuhan hidup layak (KHL) dewan pengupahan tiap kabupaten dan kota. Hal itu, menurutnya, dikarenakan ada kesalahan fatal dalam proses survei KHL yang dilakukan dewan pengupahan.
Survei 60 item kebutuhan buruh versi dewan pengupahan tidak sesuai dengan kebutuhan layak bagi buruh. Kirnadi mencontohkan, survei tempat tinggal buruh yang menjadi ukuran dewan pengupahan adalah ukuran 3×3 meter persegi. Padahal ukuran tersebut tidak masuk untuk menyimpan lemari baju, meja, kursi, dan tempat tidur.
“Logika rumah 3×3 meter nilai survei yang keluar tidak lebih dari Rp300.000 kebutuhan tempat tinggal.” papar Kirnadi.
Survei ini berbeda dengan hasil survei serikat pekerja dengan item yang sama namun ukuran rumah mengharuskan terdapat ruang yang cukup untuk tidur, ruang tamu, lemari baju, sampai pakaian, yang nilainya mencapai Rp800.000
Oleh karena itu, ia menyatakan sampai kapan pun hasil survei dewan pengupahan dan buruh tidak akan pernah ketemu.
Kirnadi yang juga sebagai Sekretaris Aliansi Buruh Yogyakarta (ABY) menolak PP 78/2015 karena dinilai tidak memanusiakan buruh. PP itu diakuinya hanya memandang buruh sebagai bagian dari alat produksi perusahaan. Sehingga kenaikan upah hanya dihitung berdasarkan logika matematika nilai inflasi dan angka pertumbuhan ekonomi.
Padahal, ia berpendapat, nflasi dan pertumbuhan ekonomi bisa dipengaruhi para pemodal besar dan situasi politik. “Buruh belum dipandang sebagai manusia yang wajib disejahterakan pemerintah,” tegas Kirnadi.