SOLOPOS.COM - DPRD Kulonprogo pertemukan warga Jogoyudan dengan tim pelaksana proyek pembangunan Underpass Margosari, Senin (7/9/2015). (Harian Jogja-Holy Kartika N.S)

Underpass Margosari masih menghadapi polemik ganti rugi lahan

Harianjogja.com, KULONPROGO – Polemik ganti rugi tanah di wilayah Jogoyudan, Wates, yang akan dijadikan jalan untuk mendukung pembangunan underpass Margosari masih alot. Meski pada akhirnya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kulonprogo telah mempertemukan warga dengan panitia pengadaan tanah , Senin (7/9/2015).

Promosi Liga 1 2023/2024 Dekati Akhir, Krisis Striker Lokal Sampai Kapan?

Perwakilan Tim Appraisal Uswatun Hasanah mengaku, penilaian lahan atas tanah yang akan dijadikan lokasi jalan pendukung inderpass sudah sesuai dengan ketentuan undang-undang maupun peraturan terkait.

“Dalam undang-undang juga sudah dinyatakan, nilai itu tunggal tidak ada negosiasi. Nilai yang saya tentukan itu juga sangat rahasia,” ujar Uswatun usai mengikuti audiensi dengan warga Jogoyudan bersama anggota DPRD.

Persoalan yang dikeluhkan empat warga Jogoyudan RT 5 RW 4, Istilah, Istarno, Kadari dan Widarti, yakni adanya perbedaan nilai ganti rugi atas tanah mereka. Pasalnya, nilai ganti rugi yang disampaikan sangat berbeda jauh dengan warga lain yang menerima ganti rugi senilai Rp2,32 juta.

Sedangkan tiga warga di antaranya, hanya menerima ganti rugi senilai Rp698.866 per meter persegi, Rp709.375 dan Rp809.571. Padahal, tanah tersebut berada di satu zona yang sama.

Uswatun mengungkapkan, harga yang ditawarkan sudah final. Sesuai dengan Undang-undang nomor 2 tahun 2012 tentang pembebasan lahan, apabila belum ada kesepakatan dengan warga, maka warga dapat mengajukan gugatan ke pengadilan.

“Nilai [atas tanah] itu tidak ada jarak. Ada beberapa faktor yang memengaruhi penilaian kami pada tanah tersebut,” jelas Uswatun.

Uswatun memaparkan, dasar penilaian tanah sebagai ganti rugi kepada warga ditentukan berdasarkan empat faktor. Keempat faktor tersebut, yakni ekonomi, lingkungan, sosial dan pemerintah.

Dia mengungkapkan, nilai pasar atas tanah di wilayah tersebut mencapai Rp1,5 juta per meter persegi. Namun, nilai tersebut kemudian diakumulasi atau dikurangi dengan melihat beberapa faktor tersebut.

“Tanah warga ini berada di dekat jalur kereta api. Semua ada ketentuannya, kami melihat tanah tersebut tidak sesuai as jalan maupun as jalur perlintasan kereta api. Dalam perundang-undangannya sudah jelas, tanah atau bangunan harus berada beberapa meter dari badan jalan, dan lain sebagainya,” tandas Uswatun.

Menanggapi polemik tersebut, Bupati Kulonprogo Hasto Wardoyo menegaskan, hasil penilaian ganti rugi yang dilakukan tim appraisal itu menimbulkan kesenjangan yang sangat tinggi. Hasto menilai, wajar jika warga keberatan dengan hargatanah yang dinilai terpaut jauh. Idealnya, kata Hasto, pembebasan lahan didiskusikan lebih dulu.

“Kalau masih ada warga yang tidak sepakat, maka bisa ditunda. Anggaran dikembalikan ke kas daerah. Jika belum setuju, pembebasan lahan bisa diulang lagi dan dianggarkan tahun depan,” ungkap Hasto.

Dalam pertemuan audiensi dengan warga, selain tim appraisal juga dihadiri Dinas Pekerjaan Umum (DPU) bidang Bina Marga dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kulonprogo. Ketua DPRD Kulonprogo Akhid Nuryati menandaskan, proses ini dikembalikan lagi ke warga.

Empat warga yang terdampak pembangunan underpass Margosari tetap berharap mendapatkan ganti rugi yang layak. Warga juga tetap bersikeras untuk bisa mendapatkan tanah atau pemukiman di wilayah Kelurahan Wates.

Istilah, salah satu warga menuturkan, harga tanahnya yang hanya dihargai Rp709.375 per meter persegi tidak akan cukup untuk membeli rumah. Bahkan, untuk beli tanah di wilayah perkotaan Wates sudah tidak mungkin mendapatkannya.

“Kalau diakumulasi uang yang kami terima dari hasil penilaian itu hanya sekitar Rp400 jutaan. Dengan harga segitu, di Wates bisa dapat tanah di mana. Padahal, harga rumah yang tidak bisa untuk usaha, paling tidak sudah di atas Rp300 jutaan,” ungkap Istilah.

Selama ini, dirinya membuka usaha bengkel yang sudah berjalan cukup lama. Istilah tetap berharap, tanah atau rumah yang ditempatinya kelak dapat memberikan akses usaha dan sebagai penghidupan bagi dirinya dan keluarganya.

Kadari menambahkan, nilai ganti rugi tersebut masih harus dibagi dengan pemegang waris. Seperti dirinya yang hanya mendapatkan Rp809.571 per meter persegi dan harus membaginya dengan empat orang dalam keluarganya. Sedangkan, Istilah harus membagi hasil ganti rugi tersebut dengan satu kepala keluarga lagi.

“Kami akan mempertimbangkan dan mendiskusikan lagi bersama-sama,” jelas Kadari.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya