SOLOPOS.COM - Sumaryadi, perajin gerabah warga Dusun Jetis, Desa Panjangrejo, saat mengeringkan gerabah hasil karyanya belum lama ini (JIBI/Harian Jogja/Intaningrum)

Sumaryadi, perajin gerabah warga Dusun Jetis, Desa Panjangrejo, saat mengeringkan gerabah hasil karyanya belum lama ini (JIBI/Harian Jogja/Intaningrum)

Sentra kerajinan gerabah di Bantul tidak hanya ada di Desa Kasongan, Kecamatan Kasihan. Di Desa Panjangrejo, Kecamatan Pundong, warga pun menggantungkan hidup dari kerajinan ini. Seperti warga di Dusun Jetis.

Promosi Vonis Bebas Haris-Fatia di Tengah Kebebasan Sipil dan Budaya Politik yang Buruk

Memasuki Dusun Jetis, suasana yang menunjukkan dusun ini merupakan sentra kerajinan gerabah bisa terlihat jelas. Di hampir semua rumah warga, berbagai jenis gerabah seperti tungku, tempayan tempat air, tempat lilin, asbak dan aneka suvenir lain nampak tertata rapi. Sebagian besar warga di dusun ini merupakan perajin gerabah setengah jadi. Nantinya, gerabah-gerabah itu akan disetorkan ke sentra gerabah di Kasongan untuk proses finishing.

Bagi warga Dusun Jetis, gerabah merupakan penyambung hidup mereka. Seperti dituturkan, Sumaryadi, pria yang yang telah belasan tahun menggeluti profesi sebagai perajin gerabah. Dia mengaku selama ini menggantungkan hidup dari kerajinan gerabah warisan orangtuanya untuk menyambung hidup.

Beberapa tahun silam, tepatnya pada 2006 saat gempa dahsyat mengguncang Bantul, Desa Panjangrejo menjadi salah satu daerah yang terkena dampak paling parah. Namun gempa yang meluluhlantakan hampir semua rumah di desa ini, ternyata tak membuat semangat hidup warga pupus.

“Enam bulan setelah gempa, meski kami tinggal ditenda, kami tetap membuat souvenir dari gerabah untuk mendapatkan penghasilan,” kisahnya saat ditemui Harian Jogja di rumahnya belum lama ini.

Ia bersama warga perajin lain memang hanya bisa mengandalkan pendapatan dari kerajinan gerabah saat itu. Pasalnya, pasca gempa lahan pertanian dan ternak mereka mengalami kerusakan.

Sumaryadi mengaku kerajinan gerabahlah yang membuatnya bisa bangkit untuk kembali melanjutkan hidup seusai bencana.

Ia mengakui kebangkitan industri ini juga sangat bergantung dengan perkembangan permintaan di daerah Kasongan. Jika pasar gerabah di Kasongan sepi, maka tidak ada pesanan untuk perajin di Jetis. Dalam sehari, Sumaryadi dibantu keluarganya bisa memproduksi souvenir dari tanah liat hingga 200 buah.”Tergantung pesanan. Jika tidak ada pesanan, kami buat stok polosan yang jumlahnya tidak banyak,” jelasnya.

Proses pembuatan produk kerajinan dari tanah liat ini membutuhkan waktu sekitar sepekan, mulai dari pengolahan tanah, penggilingan, pembentukan, penjemuran dan pembakaran.”Jika musim kemarau, penjemuran bisa lebih cepat. Maklum, kami masih mengandalkan sinar matahari untuk pengeringan,” jelasnya.

Beragam produk ini ditawarkan dengan harga yang beragam, mulai harga Rp250 hingga Rp5.000, tergantung ukuran dan tingkat kesulitan saat membuat atau desain produk. Selain memasok kerajinan ke Kasongan, Sumaryadi dan perajin lain kini juga melayani pesanan secara langsung dari wisatawan yang datang langsung ke lokasi desa wisata binaan ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya