SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Wayang orang yang digelar di Sorowajan bercerita tentang kisah cinta namun juga memiliki pesan kemanusiaan

Haranjogja.com, BANTUL- Di tengah hiruk pikuk politik lokal dan nasional, masyarakat Sorowajan, Banguntapan, Bantul mendapatkan tontonan wayang orang. Selain menghibur, gelaran itu juga membawa pesan sosial kemanusiaan.

Promosi Jaga Jaringan, Telkom Punya Squad Khusus dan Tools Jenius

Ribuan penonton yang memadati halaman Gelanggang Sorowajan sontak terdiam, saat lampu panggung berukuran 8 x 4 meter berubah menjadi gelap. Kegelapan itu dibumbui dengan alunan seperangkat Gamelan mulai dari Kendang, Gong, Gambang hingga Saron dan didukung tarik suara sinden.

Saat penata cahaya kembali menyinarkan lampu terang ke panggung tanpa atap berlatar pepohonan, pertanda pagelaran wayang orang dengan judul Togog Dadi Ratu, akan dimulai. Tepuk tangan penonton pun serentak menggemuruh tanpa dikomando dalam gelaran bertajuk Pentas Seni Budaya #2 Sorowajan akhir pekan lalu.

Gelaran yang disutradari oleh Tukiran itu melibatkan sejumlah seniman andalan di DIY tak terkecuali Sunardi yang juga Kepala SMKI Yogyakarta dan lainnya tergabung dalam seniman Wayang Orang Panca Budaya.

Para penonton mulai dari anak hingga lanjut usia terhipnotis dengan penampilan mereka yang tanpa jeda lebih dari 120 menit. Di tengah adegan Togog Dadi Ratu, Raden Arjuna tampil dengan senjata khasnya, panah pasopati melilit di punggung.

Ia datang dimintai dukungan oleh Togog yang sudah merubah wajahnya menjadi Ratu bergelar Prabu Tejo Birowo di negeri Bondo Kasapto. Upaya itu dilakukan Togog guna mendapatkan Dewi Kanestren yang tak lain adalah istri Semar.

Tetapi Kanestren tetap memberi syarat bagi Tejo Birowo. Kanestren minta dibangunkan jalan dari Negeri Bondo Kasapto hingga Pulorojopeti. Tejo pun menyetujuinya meski jalan itu harus melewati Karangkadempel rumah Semar. Tanpa pikir panjang, Arjuna pun menyanggupi dukungan dan bantuan itu karena dijanjikan oleh Tejo akan diberi Banowati.

Aku pengen jejodoan karo Kanestren [aku ingin berjodoh dengan Dewi Kanestren],” ujar Prabu Tejo Birowo dengan menepuk pundak Arjuna.

Seneng yo seneng, neng ojo koyo ngono [Cinta boleh tapi jangan sampai seperti itu],” ucap Arjuna marang Tejo Birowo dan melesat menuju Karangkadempel guna memenuhi keinginan Tejo, dalam kutipan pagelaran malam itu.

Cerita sederhana tersebut sarat makna kemanusiaan. Kerap terjadi di dunia nyata saat ini, seseorang melakukan berbagai cara yang menurutnya benar untuk mencapai suatu keinginan. “Kebenaran tak akan pernah mati,” terang Tukiran selaku sutradara.

Kebenaran itu akhirnya terbukti. Dalam pungkasan cerita, ada Dewa Kasimpar yang menolong Kanestren. Tejo Birowo pun terlibat perang dengan Dewa Kasimpar. Hingga semua bisa terungkap, bahwa Tejo Birowo tetap jadi Togog dan Dewa Kasimpar menjadi Semar.

Cerita itu mendapat apresiasi masyarakat tak terkecuali perwakilan kaum muda. “Semoga anak muda bisa mengapresiasi agar tidak punah. Sekarang bisa diibaratkan di kota itu mahal mendapat tontonan wayang orang karena jarang ditemukan, sudah tergerus dengan tontonan lain,” ungkap Faisol Afero, Ketua Panitia PSB#2 Sorowajan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya