SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

JOGJA—Warga wedi kengser atau yang tinggal di bantaran sungai di Kota Jogja menuntut hak. Pasalnya, selama ini mereka kesulitan untuk mendapatkan identitas sebagai warga Kota Jogja.

Persoalan yang dialami warga wedi kengser timbul karena mereka tinggal di tanah yang sebenarnya tidak diperbolehkan untuk tempat tinggal. Akibatnya persoalan demi persoalan muncul, mulai dari pembatasan layanan kartu kependudukan, layanan jaminan sosial, kesehatan dan lainnya.

Promosi Ijazah Tak Laku, Sarjana Setengah Mati Mencari Kerja

Wignyo Cahyono, warga wedi kengser di Blunyahgede mengaku terpinggirkan dalam segi pemenuhan hak-hak hidupnya. Persoalan hak atas tanah kata Wignyo juga dialami hampir pada seluruh warga di bantaran sungai. Dia menyebut persoalan hak tanah menjadi inti dari serentetan persoalan yang mengikutinya. “Sebenarnya yang utama ialah pemenuhan kebutuhan material kami, jika hak atas tanah kami masih saja dihalang-halangi seperti ini maka akan berimbas pada persoalan kebutuhan ekonomi, kebutuhan sosial, budaya kami,” katanya, akhir pekan lalu.

Untuk memperjuangkan hak warga wedi kengser, mereka sudah membentuk Paguyuban Rakyat Kampung Basis Pinggiran Sungai (Paku Bangsa).

Kini paguyuban tersebut telah memiliki anggota 10 kampung baik di bantaran Sungai Winongo, Code dan Gajahwong. Mereka tersebar di kampung Pogongrejo, Bluyahgede, Jetisharjo, Terban, Jogoyudan, Tukangan, Tegalpanggung, Ratmakan, Kricak dan Balirejo.

Untuk pendidikan, Wignyo mengaku sering mendapat keluhan dari warga bantaran sungai yang terpaksa gagal masuk ke sekolah negeri. Kegagalan itu disebabkan oleh beberapa faktor termasuk karena keterpinggiran hak-hak orangtua mereka. Demikian juga untuk persoalan kesehatan warga kesulitan mendapatkan jaminan kesehatan masyarakat dari pemerintah karena ketiadaan administrasi.

Adapun Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menyebutkan beberapa kasus terkait dengan pembatasan hak warga bantaran sungai pernah ditanganinya.

Pelaksana Tugas Ketua Ombudsman Republik Indonesia (ORI) DIY-Jateng, Budhi Masturi kepada Harian Jogja menjelaskan, pihaknya pernah menangani kasus pembatasan hak warga bantaran sungai di kampung Sinduadi, Mlati, Sleman. Menurutnya, warga di kampung itu tidak mendapatkan layanan catatan kependudukan (KTP) karena tidak mau membayar sewa atas lahan yang mereka tempati.

Sesuai catatan, para warga itu menempati lahan di bantaran sungai yang belum menjadi hak milik mereka, meskipun tempat itu sudah puluhan tahun mereka tempati. “Pak lurahnya tidak mau menyetujui pembuatan KTP jika warga tidak mau membayar sewa lahan. Padahal antara pembayaran sewa lahan dengan pemenuhan kebutuhan hak kependudukan ini adalah persoalan yang berbeda. Dua masalah ini tidak bisa lantas dijadikan sebagai satu alur sebab akibat,” katanya, Rabu (16/5).

Budhi menjelaskan, dengan pembatasan layanan catatan kependudukan itu, berimbas pada berbagai layanan dan jaminan lainnya. Dia menilai KTP merupakan kartu identitas yang menjadi syarat wajib dalam kepengurusan administrasi masyarakat. “Mana bisa sekarang ngurus sesuatu tanpa menggunakan KTP, mau mengurus apa saja syarat utamanya adalah KTP, apalagi mau menikah resmi pasti pakai KTP. Nah, jika KTP saja tidak punya atau dipersulit maka secara langsung mereka juga dipinggirkan atas hak-haknya yang lainnya,” jelasnya. Kasus tersebut sempat mencuat beberapa waktu lalu, dan ORI telah melakukan mediasi atas kasus tersebut.

Pendataan

Terpisah, Pemerintah Provinsi DIY mengakui ada ratusan warga bantaran sungai yang tidak memiliki identitas resmi berupa KTP. Mereka tidak punya identitas bukan karena pemerintah mempersulit birokrasi, tetapi justru masyarakatnya yang sulit didata.

Kepala Bagian Kependudukan Biro Tata Pemerintahan Setda Provinsi DIY Riyadi Mujiarto mengatakan, warga bantaran sungai itu biasanya tidak memiliki dokumen awal. Mereka biasanya orang telantar yang statusnya pendatang kemudian sudah tinggal bertahun-tahun dan beranak pinak. Saking lamanya sudah seperti warga asli setempat.

Jika ingin mendapatkan identitas cukup dilakukan pendataan ulang. Dengan menyerahkan dokumen dari tempat mereka berasal. Jika memang dokumennya resmi pemerintah akan dengan senang hati menerbitkan identitas sesuai dengan tempat tinggalnya. “Memang warga yang seperti itu harus membuat permohonan untuk melakukan pendataan awal jika ingin memiliki KTP,” katanya.

Namun kenyataan di lapangan, upaya pemerintah mendata seperti itu tidak mudah. Terkadang warga yang bersangkutan enggan mengajukan permohonan KTP. Kemudian saat petugas datang meminta dokumen awal dari tempat dia berasal tidak bisa menunjukkan. Kemungkinan di tempat asal punya konflik lingkungan sampai tidak punya identitas.

Dengan kasus seperti itu pemerintah sudah pasti menyatakan penduduk itu ilegal dan tidak bisa menerbitkan KTP Jogja begitu saja. Namun ada cara lain, dengan dengan mengisi data pribadi kemudian akan diterbitkan surat keterangan tinggal sementara dalam jangka waktu satu tahun. Selama satu tahun akan dievaluasi apakah yang bersangkutan diterima atau tidak oleh lingkungan dengan keterangan RT/RW setempat. “Kalau proses itu bisa dilalui pemerintah akan menerbitkan KTP dan disusul penerbitan Kartu Keluarga,” imbuh Riyadi.

Pilihan cara kedua itu ternyata tidak banyak yang dimanfaatkan warga yang belum beridentitas. Masyarakat menginginkan pemerintah yang turun untuk membuatkan KTP tanpa harus meninjau dokumen. Hal itu tidak memungkinkan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya