Jogja
Jumat, 8 Januari 2016 - 23:20 WIB

WISATA JOGJA : Sister City, Ini yang Dipelajari dari Pariwisata Kyoto

Redaksi Solopos.com  /  Mediani Dyah Natalia  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Kraton Jogja (JIBI/Harian Jogja/Gigih M. Hanafi)

Wisata Jogja dapat berkembang besar.

Harianjogja.com, SLEMAN-Pada akhir abad ke-20 industri pariwisata mengambil porsi sebesar10,2% dari total produksi bruto dunia. Dengan 240 juta orang terlibat di dalamnya, sejak era tersebut skala industri ini telah berkembang secara signifikan. Hari ini, konsumsi pariwisata memberi kontribusi sebesar 10% dari total konsumsi dunia.

Advertisement

“Bagi kota wisata bersejarah, termasuk Yogyakarta, menyeimbangkan pengaruh industri pariwisata dengan strategi pembangunan yang berkelanjutan menjadi tantangan bagi masyarakat serta pemerintah. Konsentrasi turis dan pembangunan industri pariwisata di kota bersejarah berpotensi membawa berbagai permasalahan,” ujar Yoshifumi Muneta dalam Tourism Heritage Seminar 2016 seperti dikutip dari rilis yang Harianjogja.com, terima Jumat (8/1/2016)

Mengambil Kyoto sebagai studi kasus, dalam seminar yang diadakan Pusat Studi Pariwisata Universitas Gadjah Mada (UGM) bersama Jogja Heritage Society, ia membawakan materi terkait pembangunan dan perubahan pariwisata di Kyoto dalam konteks pelestarian dan revitalisasi Kyoto sebagai kota bersejarah.

Seiring dengan pergeseran industri Jepang dari perekonomian berbasis bisnis manufaktur keperekonomian berbasis perdagangan dan jasa, industri pariwisata menjadi perhatian utama bagi pemerintah. Meski memiliki potensi yang besar sebagai penggerak ekonomi nasional, pertumbuhan industri pariwisata menimbulkan ancaman terhadap kelestarian situs-situs yang menjadi aset budaya dan sejarah.

Advertisement

Dalam membangun industri pariwisata, kebijakan yang diambil pemerintah Jepang berfokus pada tiga hal, yaitu memindahkan pusat pariwisata dari situs bersejarah ke fasilitas-fasilitas komersil, mengubah gaya wisata tamasya menjadi kegiatan yang lebih partisipatif dengan pengenalan terhadap etika dan filsafat budaya Jepang, serta melibatkan wisatawan kedalam kehidupan sehari-hari warga lokal. Tujuannya, mereka mendapatkan pengalaman yang lebih dekat, dan di saat yang sama mereka turut memajukan kehidupan warga lokal. Melalui kebijakan demikian pemerintah dapat melindungi situssitus bersejarah tetapi tetap mendorong komersialisasi kota melalui alternatif wisata yang lebih modern.

Yogyakarta, menurut Yoshifumi, pun terus berkembang sebagaikotawisata. “Terakhir kali saya mengunjungi Yogyakarta beberapa tahun yang lalu, suasananya sangat berbeda. Sekarang menjadi lebih ramai, dan kotanya banyak berubah,” jelas pengajar di Departemen Desain Lingkungan, Kyoto Prefectural University ini.

Kepala Pusat Studi Pariwisata UGM, DjokoWijono, menyambut baik penyampaian Yoshifumi untuk menjadi pelajaran bagi pembuatan kebijakan pembangunan pariwisata di Indonesia, khususnya di Yogyakarta. “Kyoto dan Yogyakarta sebagai sister city diharapkan dapat terus menjalin hubungan yang baik dan bekerjasama,” ujarnya.

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif