SOLOPOS.COM - Para narasumber menyampaikan paparannya dalam acara Sinau Sejarah dengan tema 1 Maret, Hari Penegakan Kedaulatan Negara, yang diselenggarakan Paniradya Kaistimewan DIY bersama Sekber Keistimewaan dan Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI), di Aula SMA Negeri 10 Yogyakarta, Jumat (1/3/2024). (Tangkapan Layar)

Solopos.com, SOLO — Mungkin saat ini belum banyak masyarakat yang tahu mengenai Hari Penegakan Kedaulatan Negara. Peringatan yang jatuh pada setiap 1 Maret itu juga memiliki sejarah menarik, termasuk sejarah Serangan Umum 1 Maret pada 1949 lalu.

Hal tersebut menjadi pembahasan menarik dalam acara Sinau Sejarah dengan tema 1 Maret, Hari Penegakan Kedaulatan Negara, yang diselenggarakan Paniradya Kaistimewan DIY bersama Sekber Keistimewaan dan Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI), di Aula SMA Negeri 10 Yogyakarta, Jumat (1/3/2024).

Promosi Ada BDSM di Kasus Pembunuhan Sadis Mahasiswa UMY

Hadir dalam acara tersebut, para narasumber, di antaranya adalah Kepala Bagian Pelayanan dan Umum Paniradya Kaistimewan DIY, Ariyanti Luhur Tri Setyarini, S.H; Sejarawan UGM, Julianto Ibrahim, S.S., M.Hum dan Ketua Sekber Keistimewaan, Widihasto Wasana Putra.

Sinau sejarah hari itu diawali dengan pemaparan menarik mengenai esensi dari Serangan Umum 1 Maret. Menurut Julianto, esensi yang utama dari Serangan Umum 1 Maret, adalah kedaulatan negara. Menurutnya, yang terpenting dari Serangan Umum 1 Maret itu adalah bisa menunjukkan kepada dunia bahwa bangsa Indonesia itu masih ada dan TNI masih kuat.

Dijelaskan, meskipun pada 17 Agustus 1945 Indonesia sudah merdeka, nyatanya Belanda melalui Nica membonceng sekutu. Setelah sekutu pergi pada Juli-Oktober 1946, wilayah-wilayah yang sebelumnya dikuasai sekutu kemudian dikuasai Belanda.

Kemudian setelah Belanda menguasai wilayah-wilayah tersebut, mereka melakukan agresi militer. Pertama pada 21 Juli 1947, kedua 19 Desember 1948. Dimana pada agresi kedua, Belanda berhasil menguasai ibu kota, Yogyakarta. Sementara para pemimpin Indonesia dibuang ke Sumatra.

Kondisi tersebut sempat membuat dunia internasional marah. Namun saat itu dunia internasional tidak bisa berbuat apa-apa karena diplomat-diplomat Belanda di PBB, selalu mengatakan jika rakyat Indonesia mau menerima Belanda, sebab pemimpin-pemimpin Indonesia itu dipilih oleh Jepang.

“Inilah mengapa kemudian Sultan Hamengkubuwana IX, yang mengetahui bahwa pada akhir Februari 1949 akan ada Sidang Umum PBB, memiliki keinginan agar pada sidang itu, dunia internasional tahu bahwa bangsa Indonesia itu masih ada,” jelas Julianto.

Selanjutnya, pada pada awal Februari 1949, Sri Sultan Hamengkubuwana IX mengusulkan kepada Jenderal Sudirman, agar ada serangan serentak yang dilakukan siang hari kepada tentara Belanda yang ada di Indonesia. Dikatakan jika sebenarnya serangan-serangan kepada pasukan Belanda sudah sering dilakukan pada malam hari. Namun serangan itu tidak berdampak apapun.

Akhirnya usulan tersebut disetujui Jenderal Sudirman. Namun Sri Sultan Hamengkubuwana IX disarankan untuk berkoordinasi dengan komandan di daerah, yakni Letkol Suharto. Maka pada 13 Februari 1949, Sri Sultan Hamengkubuwana IX membicarakan rencana serangan itu dengan Letkol Suharto, sehingga muncul keputusan 1 Maret 1949. Meski hanya berlangsung enam jam, namun serangan itu berhasil diketahui dunia karena disiarkan radio.

“Dunia internasional akhirnya tahu, bahwa ternyata rakyat Indonesia tidak menghendaki Belanda. Itu terbukti TNI telah menyerang Belanda, dan TNI masih kuat karena berhasil menguasai kota Jogja walaupun hanya 6 jam,” kata dia.

Setelah itu Dewan Keamanan PBB pun meminta agar diadakan perundingan. Perundingan itu diselenggarakan pada 7 Mei 1949 yang dikenal dengan Roem-Roijen. Hasilnya, ibu kota negara akhirnya dikembalikan lagi ke Yogyakarta. Kemudian dalam Konferensi Meja Bundar (KMB), Belanda mengakui kedaulatan Indonesia.

Situs Bersejarah

Ketua Sekber Keistimewaan, Widihasto, kepada para siswa SMA Negeri 10 Yogyakarta, menyampaikan bahwa di sekitar sekolah tersebut ada banyak situs bersejarah. Dia mencontohkan, ada satu bangunan yang di sebelah bangunan SMA Negeri 10 Yogyakarta, yakni Kantor Korem, ternyata dulunya pernah menjadi kantor Wakil Presiden Mohammad Hatta pada saat ibu kota negara pindah ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946-28 Desember 1949.

Sedangkan di sebelah bangunan itu juga ada rumah seorang pengusaha Belanda yang kemudian pada zaman VOC, bangunan itu dibeli oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk dijadikan kantor perwakilan gubernur jenderal Belanda. Dimana pada masa revolusi kemerdekaan itu, menjadi istana negara.

Tidak jauh dari bangunan itu juga ada Benteng Vredeburg, yang dibangun di era Sri Sultan Hamengkubuwana I dan disempurnakan di era Hamengkubuwana II.

“Begitu banyak kawasan heritage di sini. Harapan kami kepada generasi sekarang, cintailah sejarah. Jangan menganggap sejarah sebagai masa lalu yang harus dilupakan. Dari sejarah kita bia belajar mengambil hikmah dan kemudian mengisi hari-hari ini dan hari-hari ke depan lebih baik lagi,” kata dia.

Terkait Serangan Umum 1 Maret, menurutnya jika dihitung sampai hari ini, maka sudah terjadi 75 tahun lalu. Meski saat itu para siswa termasuk para narasumber diskusi yang hadir di acara itu belum lahir, namun menurut Widihasto, masyarakat bisa mengenal dari belajar sejarah.

“Hal yang menarik bagi saya, saya menemukan benang merah, kenapa masyarakat Jogja itu memiliki militansi yang sangat konsisten pada perang kemerdekaan,” kata dia.

Sebab jika melihat dari Riwayat yang ada, ternyata para leluhur sudah berperang melawan VOC pada zaman Perang Diponegoro pada abad 18 (1825-1830). Perang Itu adalah perang yang sangat menghabiskan energi dan menghabiskan kas Belanda. Sebelumnya juga ada riwayat perang Mangkubumen yang lebih lama lagi, yakni 8 tahun. Pangeran Mangkubumi yang berperang 8 tahun itu adalah yang kemudian bertahta sebagai Sri Sultan Hamengkubuwana I. Sebelumnya, juga ada penyerangan Sultan Agung ke pusat kekuasaan VOC Belanda di abad 16 (1628 dan 1629).

“Baik penyerbuan Sultan Agung, perang Mangkubumen, perang Diponegoro, banyak yang ditulis dalam karya sastra yang namanya babad. Karya-karya sastra ini rupanya yang menginspirasi para leluhur kita untuk melakukan perlawanan,” kata dia.
Sementara itu Kepala Bagian Pelayanan dan Umum Paniradya Kaistimewan DIY, Ariyanti Luhur Tri Setyarini, S.H, mengatakan meski sebagian masyarakat mungkin sudah mengenal atau mendengar adanya sejarah Serangan Umum 1 Maret, namun kemungkinan masih asing dengan Hari Penegakan Kedaulatan.

“Ini menjadi tugas kita bersama untuk mensosialisasikan pasca ditetapkannya 1 Maret sebagai Hari Penegakan Kedaulatan, untuk bersama-sama kita mengetahui makna di balik penetapan hari itu,” kata dia dalam acara itu.

Dijelaskan bahwa berdasar dari adanya Serangan Umum 1 Maret itu kemudian Pemerintah DIY mengajukan kepada pemerintah pusat. Terkait peran Sri Sultan Hamengkubuwana IX dalam menginisiasi peristiwa Serangan Umum 1 Maret tersebut.

“Sri Sultan Hamengkubuwana IX telah dianugerahi sebagai pahlawan nasional. Dari kajian tersebut ternyata memang peran dari Yogjakarta dalam memberikan penjagaan terhadap berdirinya NKRI itu luar biasa, sehingga pada 24 Februari 2022 turunlah SK yang menetapkan 1 Maret sebagai Hari Penegakan Kedaulatan Negara sebagai hari besar milik Republik Indonesia,” jelas dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya