SOLOPOS.COM - Sejumlah peserta aksi menggelar teaterikal belajar berhitung, di halaman kantor KPU DIY, Selasa (20/2/2024). (Harian Jogja/Lugas Subarkah)

Solopos.com, JOGJA – Aksi unjuk rasa digelar sejumlah warga untuk merespons dugaan kecurangan Pemilu 2024 di depan kantor KPU Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa (20/2/2024). Bahkan, massa dari Gerakan Rakyat untuk Demokrasi dan Keadilan (Garda) itu melakukan aksi teaterikal belajar behitung untuk menyindir penyelenggara Pemilu.

Dalam aksi ini, massa aksi mengenakan seragam SD, menggunakan properti kursi dan bangku serta papan tulis layaknya suasana di dalam kelas. Mereka menamai kelas ini sebagai SD Negeri Koplak dan memparodikan proses belajar-mengajar mata pelajaran matematika.

Promosi Timnas Garuda Luar Biasa! Tunggu Kami di Piala Asia 2027

Dalam keterangan tertulis, SD Negeri Koplak memiliki spesialisasi belajar cara cepat mengubah konstitusi; belajar kiat mudah meraup suara pemilu; belajar cuek meskipun melanggar etika; memperalat aparat untuk kepentingan dinasti politik; serta belajar melanggengkan kekuasaan.

Korlap aksi tersebut, Agus Munandar, mengatakan massa aksi merupakan warga Jogja pro demokrasi, yang bertujuan menjaga konstitusi.

“Datang ke kantor KPU menyampaikan aspirasi dan keprihatinan kami karena pemilu kali ini benar-benar pemilu yang sangat gila,” katanya.

Teaterikal belajar berhitung ini sebagai simbol untuk mengajari KPU di seluruh indonesia untuk belajar kembali matematika SD. Ia juga menampik aksi ini terkait dengan pasangan calon dalam pilpres.

“Ini bukan persoalan Ganjar-Mahfud, Anies-Muhaimin, atau Prabowo-Gibran. tapi ini persoalan kita bersama, persoalan Indonesia,” paparnya.

Ia melihat pemilu kali ini memicu ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja KPU dan Bawaslu. Penyebabnya ada banyak hal, mulai dari banyaknya kertas suara yang sudah dicoblosi, kurangnya kertas suara, maraknya politik uang, hingga temuan penggelembungan suara dalam proses rekapitulasi penghitungan suara.

Pemilu 2024, kata dia, sudah diawali dengan preseden buruk. Sidang Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MK) dan sidang Dewan Kehormatan KPU, keduanya memutuskan MK serta KPU telah melanggar etik dengan meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres.

“Berbagai preseden negatif juga muncul seperti mobilisasi perangkat desa untuk mendukung paslon tertentu, presiden tanpa rasa malu menabrak aturan untuk netral, melakukan politisasi bansos, keterlibatan pejabat publik berkampanye, termasuk adanya intimidasi aparat,” katanya.

Paling mutakhir adalah kisruh penggelembungan penghitungan suara. Sistem rekapitulasi (Sirekap) KPU tiba-tiba secara ajaib melonjakkan suara pasangan tertentu bahkan banyak kasus ditemukan perolehannya melampui jumlah pemilih.

“Sirekap pun diplesetkan publik sebagai ‘Simark-up’. Semua hal itu dilakukan terstruktur, sistematis dan massif,” ungkapnya.

Merespons aksi ini, Ketua KPU DIY, Akhmad Sidqi, mengapresiasi masyarakat yang masih terus mengawal proses pemilu, bahkan setelah pemungutan suara terlaksana.

“Kami berterimakasih, proses pemilu tidak hanya dikawal sampai 14 Februari, tapi sampai proses penetapan rekapitulasi terus dikawal,” kata dia.

Ia mengakui adanya kelemahan Sirekap dalam membaca hasil pemungutan suara. Namun hal ini sudah diatasi dengan perbaikan. Dengan adanya Sirekap menurutnya justru menjadi bentuk transparansi proses rekapitulasi.

“Prinsipnya dengan adanya Sirekap justru kita transparan. Semua bisa diketahui publik dan publik bisa mengoreksi. Plano juga bisa diketahui oleh publik dengan Sirekap itu. Kalau tidak ada publikasi justru itu gelap semua,” katanya.

Berita ini telah tayang di Harianjogja.com dengan judul Soroti Kecurangan Pemilu, Warga di Jogja Gelar Aksi Belajar Berhitung di KPU DIY

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya