SOLOPOS.COM - Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM, Mada Sukmajati. (Istimewa/UGM)

Solopos.com, SLEMAN – Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM), Mada Sukmajati, menggambarkan kondisi perpolitikan di Indonesia menjelang Pemilu 2024 mirip dengan yang terjadi di Filipina. Bahkan, kondisi di Indonesia dinilai lebih buruk karena ada mengotak-atik konstitusi serta cawe-cawe Presiden aktif.

Mada menegaskan kondisi perpolitikan di Indonesia saat ini sedang terjadi Filipinaisasi atau mencontoh kondisi politik Filipina, dengan sejumlah kemiripan, salah satunya pencalonan anak presiden. Di Indonesia, Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Jokowi menjadi calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto.

Promosi Primata, Permata Indonesia yang Terancam Hilang

“Di Pemilu Filipina 2022, berkembangnya politik populisme, bangkitnya rezim lama, dinasti politik sangat kuat, putrinya Duterte [mantan presiden Filipina] nyawapres, kemudian peranan penting media dioptimalkan, juga ada support kelompok antiorientasi intelektual,” ujarnya dalam Diskusi Bersama Media Suara Politik Fisipol UGM untuk Demokrasi Berkualitas, Selasa (30/1/2024).

Beberapa hal yang terjadi di Filipina tersebut, kata dia, juga terjadi pada Pemilu 2024 di Indonesia. Namun bedanya, di Indonesia masih ditambah beberapa poin, yakni Presiden ikut cawe-cawe dan melakukan otak-atik konstitusi.

“Jokowi cawe-cawe. Itu tidak dilakukan oleh Duterte. Sampai detik terakhir pemungutan suara, Duterte yang digang-gadang akan melakukan endorsment, itu tidak dilakukan. Hanya sekali Duterte bertemu dengan Bongbong [presiden Filipina saat ini],” kata dia.

Di Filipina juga tidak terjadi otak-atik konstitusi untuk pemenangan putri Duterte dalam pemilu. Sementara di Indonesia, otak-atik konstitusi terjadi untuk memuluskan pencalonan anak Jokowi, Gibran, dengan mengubah persyaratan minimal usia cawapres.

Ia juga menyoroti regulasi kepemiluan yakni UU No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum tidak siap mengatur situasi dan kondisi saat ini, di mana presiden yang sudah dua periode itu mau mendukung salah satu paslon dalam pemilu.

“Dalam pasal 299, presiden memang memiliki hak kampanye. Tetapi jangan lupa, ada pasal 283 ayat 1, pejabat negara termasuk presiden dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah pada keberpihakan pemilu selama dan sesudah masa kampanye. Jadi tidak boleh kampanye,” ungkapnya.

Dia menjelaskan regulasi ini hanya dibuat untuk presiden yang akan mencalonkan diri dalam periode berikutnya.

“Konsekuensinya banyak. Kalau Jokowi mau gaspol, dia berpotensi melanggar Pasal 283. Saya usul harus ada yudisial review untuk mendapat kepastian hukum, bagaimana mengelola kondisi saat ini, terutama [kalau terjadi] putaran kedua,” kata dia.

Dekan Fisipol UGM, Wawan Mas’udi, menuturkan diskusi ini digelar oleh Election Corner secara rutin, membahas berbagai isu seputar pemilu. “

Mulai dari bagaimana kita menjaga penyelenggaraan pemilu tetap berlangsung dalam kerangka integritas. Ada isu menjaga netralitas aparatur negara, masyarakat sipil mengawal demokrasi, menjaga sosial media tetap sehat,” paparnya.

Berita ini telah tayang di Harianjogja.com dengan judul Pemilu Indonesia Mirip Filipina, Dosen Fisipol UGM: Di Sini, Presiden Malah Cawe-Cawe

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya